Sering Berdiskusi, Berdebat, dan Curhat
Sukses album ini, membuat mereka dapat banyak undangan ke banyak daerah. Mau tak mau, Patub dan Dedy harus sering berpisah dengan orangtuanya. “Kalau kami pergi rumah jadi sepi. Tinggal ibu sama bapak saja. Ya, sedih juga sih meninggalkan mereka. Tapi mau bagaimana lagi,” seru Patub. Sepintas, tak ada kesan Patub(27) dan Dedy (20), dua-duanya kakak beradik personel Band Letto. Selain garis wajah keduanya tak mirip, tampilan fisik lainpun tak mengindikasikan gitaris dan dramer Letto ini bersaudara. Patub yang gitaris Letto, berperawakan kurus. Kulitnya agak hitam. Tubuh Dedylebih berisi ketimbang Patub. Ia juga punya kulit yang lebih terang dibanding kakaknya.
Kesan kakak beradik ini kian kabur dari cara keduanya berinteraksi. Dedy yang lebih muda, tak pernah memanggil sang kakak dengan sebutan Mas. Begitu pula sebaliknya. “Saya juga nggak pernah menyapa dia dengan panggilanadik. Cukup memanggil nama saja,” sebut Patub.Jangan heran, kalau kemudian banyak yang kagetsaat tahu keduanya kakak beradik. “Kalau ada orangyang diberitahu kami kakak beradik, pasti nggak percaya. Mereka pasti bilang, 'Ah, masak iya',” seru Dedy.
Meski bernaung di band yang sama, keduanya tak merasa status kakak beradik menjadi ganjalan. Pasalnya, Patub dan Dedy selalu memisahkanhubungan personal dengan pekerjaan.“Kami mencoba bersikap profesional. Urusan pekerjaan harus dipisahkan dengan urusan personal. Kalau urusan nge-band dia saya anggap sebagai partner (mitra-red). Di luar itu, baru saya anggap sebagai adik,” ceplos Patub yang punya nama asli Agus Riyono.
Sebagai musisi -- apalagi berada dalam satu band -- pasti keduanya seringmemberi masukan satu sama lain. “Kami sering bertukar pikiran soal teknis saat di panggung,” seru Patub yang berulang tahun setiap tanggal 2 Agustus.Dedy membenarkan hal itu. “Kami memang sering diskusi soal teknis manggung. Misalnya, saja soal posisi saat manggung. Saya sering bilang, agar bisa melihat posisi dia. Dengan begitu saya bisa mengikutialur permainannya,” terangnya.Kali lain, perbincangannya adalah soal aransemen musik. Pembicaraan soal aransemen ini belakangan makin intens. Apalagi, Letto, kini,tengah rekaman album kedua. “Saya sering ajak dia ke studio buat diskusi soal aransemen lagu,” tegas Patub. Agar kreativitas bermusik makin lancar, keduanya juga tengah merintis studio musik di rumah. “Sekarang ini 'kan nggak susah bikin studio kecil-kecilan. Modalnya, cuma komputer saja. Alat musik kami sudah punya. Kalau studio sudah ada, kami bisa mengaransemen musik di rumah,” ceplos Dedy.
Seperti kakak adik kebanyakan, keduanya juga sering mengulas soal personal. Dedy sering meminta pendapat soal banyak hal. “Ya, misalkan soal kuliah saya,” seru Dedy yang saat ini tengah cuti dari kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Terkadang, pembicaraan merekajuga sampai ke urusan hati. “Ya, saya memang sering cerita soal urusan cinta. Beberapa waktu lalu, ketikaputus dengan pacar, sayacurhat padanya,” ujar Dedy. Penggemar film horor ini menambahkan, Patub pun kerap bercerita banyak hal padanya. “Bedanya, ketika dia bicara, saya cuma mendengarkan saja. Pengalaman dia 'kan jauh lebih banyak. Jadi dia lebih tahu bagaimana solusi masalah yang dialaminya,” ceplos Dedy lagi.
Tak heran, dengan kondisi seperti ini keduanya kerap merasa sebagai sahabat“Kami menganggap satu sama lainsebagai sahabat. Kedudukan teman itu 'kan sejajar,beda dengan kakak beradik. Kakak itu posisinya, biasanya berada di atas sang adik,” ceplos Patub yang menggemari musik Classic Rock dan Jazz.
Sebagai kakak beradik, hubungan Patub-Dedy bukan tanpa masalah. Cuma, kalau dulu sumber keributanlebih ke urusan keluarga, kini konfliknya dipicu soal band. “Bila tur, Dedysering marah-marah. Bahkan, pernah ia memarah-marahi panitia pertunjukan. Lucunya, kadang-kadang marahnya itu nggak jelas sebabnya. Kami sering gemes dibuatnya. Tapi, saya memaklumi. Mungkin dia masih muda, jadi emosinya masih meledak-ledak,” celoteh Patub. Menurut Dedy, ia kerap marah-marah bila mendapati sesuatu yang tak beres. “Saat manggung banyak hal yang nggak beres. Misalnya, saja sound yang nggak enak. Itu 'kan bikin kesal. Dan saat tur biasanya mudah capek. Ini yang bikin saya gampang marah. Kalau marah, saya tak ingin diladeni. Kalau diladeni Patub, saya malah tambah marah. Inilah yang sering bikin berantem dengan Patub.
Tapi dia sudah paham dengan sifat saya ini. Kalau marah, dia biasanya nggak meladeni. Dia kasih solusi,” tegas penggemar almarhum John Bonham ini (Led Zeppelin).
Patub dan Dedy mengenal musik sejak usia dini. Patub menuturkan,saat kecil sudah dicekoki musik tradisional Jawa. “Sejak duduk di TK saya sudah main gamelan. Saya juga diajarkan tarian tradisional Jawa,” ujar Patub yang jebolan Universitas Gadjah Mada.Dedy juga sama. Cuma sejak kecil, ia lebih tertarik pada alat musik tabuh."Dulu tuh sayanggak mau masuk TK yang nggak ada drumband-nya. Waktu masuk SD juga begitu. Sampai kelas 2 SD, saya ikutan drumband,” ujar Dedy. Saking cintanya dengan alat tabuh,panci milik sang ibu jadi korban. “Dulu dia sering dicari ibu lantaran pancinya sering dibawa keliling kampung,” kenang Patub sembariterbahak. Hobi mukul-mukul Dedy ini diakomodir oleh orangtuanya. Ia dibelikan alat tabuh ketipung. “Sebenarnya sih orangtua pengin membelikan dram. Cuma kala itu saya masih kecil. Takutnya mengganggu yang lain. Ketipung itu yang saya pakai buat keliling kampung, bukan panci lagi,” kilah Dedy.Soal dram, Dedytidak pernah mengikuti sekolah formal khusus dram."Otodidak saja.
Mungkin karena saya sudah sering latihan drumband, jadinya tidak mengalami kesulitan," jelas putra kedua dari pasangan Muntarno - Suryati ini.
Menjelang remaja, keduanya beralih ke musik populer. “Saat SMP saya mulai mendengarkan lagu-lagu klasik rock, seperti Queen dan Led Zeppelin,” seru Patub. Kegemaran Patub ini menular pada adiknya. "Sejak kecil, sayasekamar sama Patub. Setiap hari, dia sering banget muterin lagu-lagunya Queen dan Led Zeppelin. Dari situsaya juga suka Queen dan Led Zeppelin." cerita Dedy.
Menjelang duduk di bangku SMA, Patub mulai ngeband. Posisinya taktetap. Kadang duduk sebagai dramer, kali lain mencabik gitar. Oh ya,kala di SMA, Patubberkenalan denganNoe (vokal) dan Arian (bas). Ketiganya, aktif dalamkelompok musikKyai Kanjengpimpinan Emha Ainun Nadjibatau akrab dipanggil Cak Nun. Patub, Noe, dan Arian sering membantu persiapan saat kelompok itu manggung,mereka juga sering latihan nge-band di Geese, studio musik milik Kyai Kanjeng.Inilah cikal bakal Letto. Sesekali, Dedy turut ngejam bareng ketiganya. Belakangan, lulus SMA, Noe cabut ke Kanada melanjutkan kuliah. Meski begitu Patub tetap bermusik. Ia seringmentas di acara-acara kampus.“Dedy aktif di komunitas band-band indie,” ujar cowok yang hobi nonton sepakbola ini.
Tahun 2003, Noe balik lagi ke Indonesia. Ketiganya kembali bermusik. Dari kegiatan ini mereka menghasilkan banyaklagu.“Tapi saat itu kami nggak pakai dramer. Buat suara dramnya kami isi dengan program atau midi, “ ujar Patub lagi. Barulah ketikamendapat tawaran mengisi album kompilasiPilih 2004, mereka mencari penabuh dram. Buat mengisi posisi lowong ini mereka mengajak Dedy. “Saya dites menggunakan metronom. Sebenarnya, audisinya sebatas formalitas saja. Kebetulan, saya sudah lama nggak main bareng mereka,” ujar Dedy.Menurut Patub, selain kemampuan teknis, Dedy diambil karena secara personal sudah dekat dengan personel Letto yang lain. “Kalau sudah kenal 'kan lebih enak dibanding merekrut orang yang baru. Dan kebetulan, saat itu kami pengin orang yang paham dengan kebudayaan kami,” terang Patub lagi.
Di album kompilasi Pilih 2004, Letto menyumbangkan album itu bertajuk I’ll Find Away. Sayang, saat diluncurkan, lagu ini tak begitu populer. Publik tak ngeh dengan keberadaan mereka. Nama mereka tenggelam oleh sukses besar Peterpan. Inilah yang bikin awak band ini pesimis. Tapi nasib berkata lain. Musica meminta mereka membuat full album. Hasilnya, terciptalah album Truth, Cry and Lie yang berisi 10 tembang. Album ini direspon positif publik. Sampai kini, album debut Letto ini terjual lebih dari 300 ribu keping.
Sukses album ini, membuat mereka dapat banyak undangan ke banyak daerah. Mau tak mau, Patub dan Dedy harus sering berpisah dengan orangtuanya. “Kalau kami pergi rumah jadi sepi. Tinggal ibu sama bapak saja. Ya, sedih juga sih meninggalkan mereka. Tapi mau bagaimana lagi,” seru Patub.Buat mengobati rasa kangen, Patub dan Dedy sering menelpon orangtuanya. Lucunya, ujar Patub, orangtuanya lebih kangen terhadap Dedyketimbang dirinya.Maklum, Dedy anak paling buncit. “Saya ini sejak SMA jarang pulangke rumah. Jadi orang tua sudah terbiasa bila saya tak di rumah. Kalau Dedy 'kan di rumah terus. Jadi kalau dia pergi, orangtua lebih kangen sama dia. Kalausedang tur, orangtuaSMSke Dedy, 'kamu pulang ya, le!'. Sedangkan ke saya nanyanya, 'kamu pulang nggak, le?” kata Patub sembari tersenyum.
source: bintang indonesia
LETTO on Facebook
Saturday, June 16, 2007
Patub - Dedy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
nasib itu mah....tapi enak jadi anak pertama nggak pernah masalah...aku juga gitu, nggak pernah masalah kalo harus pulang dini hari...hehe....
Post a Comment