LETTO on Facebook

Sebelum Cahaya (Video Clip)

Sunday, August 23, 2009

Kaos Letto & pLettonic




Buat pLETTOnic ada penawaran kaos ekslusif dengan spesifikasi sbb:

- Bahan: Kain Cotton Combed 100%
- Warna: Putih dan Hitam
- Sablon: Karet Timbuk di bagian Depan dan Belakang
- Desain: Seperti gambar di atas...
- Ukuran: S,M,L,XL


Standar Ukuran (Panjang x Lebar):
S (46 x 66 cm)
M (50 x 69 cm)
L (52 x 72 cm)
XL(56 x 76 cm)

- Harga: Rp.70.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
- Cara Bayar: Via transfer BCA
- Cara pengiriman kaos: via paket tiki
- Bonus: Stiker (seperti gambar di atas)

Bagi yang berminat silahkan Pre Order dengan cara, isi data-data sebagai berikut:

- Nama:
- Alamat Lengkap:
- No.Tlp:
- Warna Kaos: (Hitam atau Putih)
- Ukuran Kaos: S, M, L atau XL
- Jumlah Pesanan:

Kirim email pesanan ke alamat: KaosLetto@gmail.com
Subject: Pre Order
Nanti akan ada konfirmasi jawaban harga plus ongkos kirim serta no rekening pembayaran...

Ditunggu Pesanannya ya,.... thanks...

selalu tunggu updatenya di http://facebook.com/lettolink

Letto Semangat Tampil Bareng Iwan Fals


Mendapat kesempatan kolaborasi dengan Iwan Fals, Letto mengaku sangat senang. Letto tampil membawakan lagu Sore Tugu Pancoran, Sandaran Hati, Sampai Nanti, Sampai Mati dan Lubang di Hati di konser Iwan Fals bertema Cikal di di Panggung Kita, Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Sabtu (25/7).

Noe mengaku mengidolakan Iwan Fals dalam bermusik dan menjadikan The Immortal tersebut sebagai inspirator.

"Kolaborasi sama Iwan Fals itu luar biasa. Dapat kesempatan saja sudah sangat gembira. Apalagi temanya tentang anak-anak," katanya seusai konser. Meskipun lelah karena Letto baru berangkat pagi dari Jogja untuk bergabung dalam konser Iwan Fals sore harinya, Noe mengaku sangat senang.

"Kita semestinya peduli sama anak-anak. Bukan hanya anak kita sendiri tapi anak siapapun. Karena nggak ada anak-anak nggak akan ada peradaban di masa depan. Anak-anak tidak boleh disia-siakan," tegas Noe.

Iwan Fals setuju dengan hal tersebut. "Mungkin kita sebagai orang tua sibuk mencari nafkah di masa yang sulit ini. Karena itu harus saling membantu. Di manapun kalau melihat anak yang melakukan kesalahan tegurlah. Jangan dibiarkan," lanjut Iwan Fals.

Iwan Fals mencontohkan banyaknya orang dewasa yang tidak peduli terhadap anak-anak. "Kalau melihat anak SMP merokok, meskipun tidak kenal, tegurlah mereka. Kita harus saling membantu. Itu tanggung jawab kita," tegasnya.

Orang tua, lanjut Iwan, juga harus bisa menjaga perilaku. "Jangan memberi contoh buruk di depan anak. Merokok di depan anak itu buruk, jaga omongan juga. Karena omongan orang tua itu hipnotis bagi anak-anak," paparnya

KapanLagi

Cara Letto Memperhatian Anak-anak Desa Terpencil


Namun Sabtu (1/8) lapangan sebuah desa terpencil di pojok baratdaya Kabupaten Banjarnegara itu dipadati ribuan warga. Bukan hanya warga Lawen. Namun lapangan di perbatasan Pekalongan dan Purbalingga itu juga didatangi warga desa-desa tetangga. Banyak di antara mereka harus jalan kaki naik-turun bukit.
Magnetnya adalah kedatangan kelompok musik kondang dari Yogya, Letto. Grup band yang cukup terkenal itu akan hadir dalam final turnamen sepakbola Piala Letto antar SD se-wilayah Kecamatan Pandanarum, yang digelar sejak 13 Juli. Suasana amat meriah ketika selepas tengah hari, kelompok musik tadi manggung, dengan MC Toto Rahardjo, pegiat LSM dan seniman kelahiran Lawen yang selama ini berkiprah di Yogya.
Sebagian orang bertanya-tanya, apa motivasi Letto menggelar acara seperti itu dan di pegunungan pula. “Kegiatan ini untuk menghidupkan dinamika masyarakat. Bukan juara yang dicari. Kami juga tak menjadikannya ajang mencari fans, bukan ajang cari publikasi karena digelar di pelosok,” kata Noe, vokalis Letto.
Ada tujuan yang lebih spesifik dari kegiatan yang digelar dengan menggandeng kelompok pemuda Lawen yang menamakan diri kelompok ‘Anane29’ itu. Letto ingin melakukan penguatan masyarakat dari sisi sportivitas dan pendidikan. Dan slogan dari Piala Letto ini pun dibikin serius, Sportivitas Adalah Nyawa Dari Keadilan.
Konsep Pendidikan
Bagi Letto, kejuaraan sepakbola antar-SD bukan hanya sekadar kegiatan olahraga namun juga sertamerta bersentuhan langsung secara menyeluruh dengan unsur-unsur masyarakat. Apalagi di dalamnya melibatkan banyak sekolah, guru dan para orangtua.
Noe menandaskan, bahwa melalui kegiatan tersebut Letto mencoba mengapresiasi konsep pendidikan. “Keberhasilan acara ini tidak di ukur dari sukses atau tidaknya kegiatan, melainkan dari sejauh mana semua elemen mampu bersinergi meningkatkan kualitas manusia dan melahirkan konsep sportivitas, solidaritas, interaksi dan kepercayaan diri,” katanya.
Ungkapan kepuasannya, sempat dilantunkan lewat lagu bertema anak-anak berjudul Layang-Layang - di samping sejumlah lagu lainnya - beberapa saat setelah penyerahan hadiah kepada para juara.
Sportif
Letto sangat berharap kegiatan tersebut benar-benar dapat menjadi bahan pengalaman dan yang bernilai secara edukatif bagi semua pihak. Juga menjadi media yang baik bagi Letto untuk belajar dan menyambungkan diri secara lebih nyata di tengah-tengah masyarakat.
“Tidak perlu muluk-muluk, paling tidak kita bisa memulai dengan mengajarkan dan memberi pemahaman bahwa, misalnya, sepakbola bukanlah hanya sekedar banyak gol yang bisa dibuat. Tapi apakah kita cukup sportif dalam membuat gol tersebut. Sportivitas penting, karena sportivitas adalah nyawa dari keadilan,” kata Noe.
Panitia lokal turnamen Beni mengatakan, Piala Letto diberikan kepada kesebelasan SDN 1 Pandanarum sebagai Kesebelasan Terbaik. Sedangkan hadiah dan penghargaan diberikan kepada Kesebelasan Paling Bekerjasama SD 1 Lawen, Kesebelasan Tersportif SD 1 Pasegeran, Kesebelasan Favorit Pilihan Masyarakat SDN 2 Lawen, Kesebelasan Mendapat Dukungan Masyarakat SDN 1 Sirongge dan Kesebelasan Paling Semangat SD 1 Sinduaji.
“SDN 1 Sinduaji pantas menjadi kesebelasan paling semangat. Karena orang Sinduaji semangat, kemana-mana harus jalan kaki naik-turun gunung. Deleng bae jentik karo jempol sikile wong Sinduaji mesti gede-gede, lha mlaku terus,” ujar MC Toto Rahardjo bercanda saat penyerahan hadiah, disambut tawa massa yang menyemut di lapangan.

Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2009

Thursday, May 21, 2009

Konser Rhythm of Unity

Untuk mempererat hubungan Malaysia dan Indonesia melalui media musik, tanggal 23 Mei 2009 ini di kawasan Bukit Jalil National Sports Complex Malaysia akan diselenggarakan konser Rhythm of Unity yang menghadirkan kolaborasi musik kedua negara.

Sebagai wakil dari Indonesia ada kelompok Slank dan Letto sedangkan dari negeri jiran ada kelompok Estranged, Hujan, Bunkface dan One Buck Short. Menurut Slank, musik yang merupakan bahasa universal untuk mempererat semangat kebersamaan sesuai dengan semangat Slank dengan PLUR-nya Peace Love Unity and Respect.

Kedua band asal Indonesia ini memang memiliki fans sendiri di Malaysia termasuk Letto, demikian pula band asal Malaysia seperti Estranged yang pernah manggung di Indonesia. Konser Rhythm of Unity dimulai dari jam 5 sore sampai jam 12 malam dengan tiket seharga RM55.

Tuesday, April 21, 2009

Satu Lagu Letto Terinspirasi Iblis?


Menurut Noe alias Sabrang Mowo Damar Panuluh, Iblis memberikan keseimbangan kepada seluruh makhluk Tuhan, bahkan Noe menuangkan dalam sebuah lagu yang termuat di album Lethologica. Lagu apakah itu dan berbicara tentang apa? Simak tulisan berikut yang diambil dari VIVAnews:
Noe, vokalis grup musik Letto, ternyata seorang pengagum iblis. Namun, pernyataan itu tidak akan mudah dipercaya, karena Noe dikenal sebagai seorang pengarang lagu bertema religi.

"Kalau ditanya tokoh idola saya, ya saya jawab iblis," kata vokalis band asal Yogya ini di Jakarta, Kamis 2 April 2009.

Lantas, apa alasan Noe untuk mengagumi iblis. Menurut dia, iblis memberikan keseimbangan kepada seluruh makhluk Tuhan.

"Iblis menjalankan tugas di dunia yang paling berat. Dibenci dan dihujat. Padahal tanpa iblis kita tidak bisa masuk surga," tutur Noe memberi penjelasan.

Kekaguman Noe terhadap iblis juga tidak bisa lepas dari diskusi panjang dengan ayahnya, budayawan Emha Ainun Najib. "Makin intens membahas iblis sejak dua tahun terakhir," kata dia.

Kekaguman itu juga membuat Noe terinspirasi untuk menulis lagu. Di album ketiga Letto, Lettologica, tersisip satu lagu itu. Tapi, Noe tidak mau menyebut judulnya.

"Videoklip lagu itu sudah dibuat, tapi belum launching. Lihat saja nanti" ujar dia.

Ketika ditanya apakah tidak takut dicekal dengan lagu yang terinspirasi iblis, Noe mengaku tidak. Bahkan dirinya terbuka untuk berdiskusi dan diklarifikasi. "Orang mau judge juga terserah," ujarnya.

Lagu ini, kata Noe, sama seperti lagu Letto lain yang dianggap bertema religi. "Karena religi adalah output dari karya, bukan karya itu sendiri."

Tapi Noe mengaku tidak membuat lagu ini untuk mencari sensasi. "Cari sensasi kan kalau saya koar-koar," ujarnya.

Sunday, April 05, 2009

Letto, Parpol & Pembajakan


Seperti dilansir Kompas saat meramaikan kampanye salah satu partai politik, vokalis grup Letto, Noe, menyentil sikap sejumlah partai yang menjadikan isu pembajakan karya cipta hanya sebatas wacana. Saat ini, menurutnya, belum ada partai politik yang konsisten ikut memberantas pembajakan lagu, padahal hal itu sangatlah merugikan negara. Menurut Sabrang Mowo Damar Panuluh, nama lengkap Noe, dalama setahun Indonesia dirugikan sebesar sekitar 1 triliun rupiah akibat pembajakan lagu baik dalam bentuk CD, VCD maupun MP3.

Beberapa partai hanya sebatas wacana memberantas pembajakan lagu, sementara partai lainnya sama sekali tidak menyentuh permasalahan itu, Noe juga menegaskan pembajakan lagu sepanjang tahun semakin banyak terjadi. Itu lebih besar merugikan artis dan produser dibanding pajak yang diberikan negara. Pembajakan di Indonesia semakim menggila dan kondisinya semakin mengkhawatirkan.

Menurut Noe, saat ini banyak penyanyi yang terkenal tapi tidak mendapatkan penghasilan yang layak, piringan CD, VCD dan MP3 lagu bajakan mencapai 94 persen, sementara piringan yang asli terjual hanya enam persen.

Saat ini Noe berharap pemberantasan pembajakan lagu bukan sebatas wacana dari partai peserta pemilu tahun ini tetapi seharusnya juga menjadi salah satu misi partai terutama partai besar karena mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam mengatasi permasalahan ini.

Saat inipun para artis atau band di Indonesia mengandalkan pendapatan terbesar dari ringbacktone yang bebas pembajakan dan konser karena saat inipun peredaran lagu bajakan apalagi via internet menggila, lebih cepat dari peredaran album resmi di gerai-gerai musik bahkan album belum beredar tetapi lagunya bahkan udah terkenal di internet.


tamtomo

Saturday, April 04, 2009

Letto Hanya Penghibur, Bukan Juru Kampanye


Band Letto tetap mau tampil di kampanye partai politik. Namun bukan berarti Letto mengajak peserta kampanye untuk memilih partai itu. Letto bersedia tampil dengan syarat hanya sebagai penghibur, dan bukan sebagai juru kampanye.

"Kami terbuka untuk semua partai. Tidak mau kalau hanya untuk satu partai saja. Dan kami mau tampil secara profesional," kata Noe, vokalis Letto, usai menghadiri sebuah acara diskusi di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (2/4).

Profesional yang dimaksud Noe adalah posisi Letto yang tampil bukan sebagai juru kampanye, tapi pengisi acara. Dan itu, kata Noe, harus dipahami oleh Letto dan partai. "Dari awal harus ada kesepakatan tentang positioning itu," ujar pria yang bernama asli Sabrang Mowo Damar Panuluh.

Partai yang menggunakan Letto dalam kampanye antara lain Golkar, Hanura, dan Demokrat. Namun Letto tidak mengatakan berapa tarif yang diterima saat tampil di kampanye.

Saat kampanye, kata Noe, Letto tidak akan mengajak untuk memilih partai yang mengontrak mereka. Letto hanya akan meminta peserta kampanye untuk memilih yang terbaik untuk Indonesia. Bahkan Letto tidak ingin dipaksa untuk tampil mengenakan atribut partai saat tampil.

Noe tidak khawatir akan ditinggalkan penggemarnya akibat tampil untuk parpol. Penggemar Letto, kata Noe, memiliki tingkat dialog yang lebih dewasa. "Kami juga terbuka untuk melakukan dialog di situs lettolink," ujar Noe.

Sumber: Pikiran Rakyat, 03.04.09


Wednesday, March 25, 2009

Letto: Kami Tidak Ingin Repot!


Ketika semua band berlomba mencari popularitas dan mencari nama besar band mereka masing-masing, ternyata masih ada band yang terbilang 'santai' a.k.a tidak ingin repot akan hal tersebut, yup mereka adalah Letto.

Band yang bermarkas di kota gudeg alias Yogyakarta tersebut mengaku kalau mereka tidak ingin repot dalam urusan segala band yang membuat mereka menjadi terkenal dengan cara apapun.

"Kami tidak ingin menjadi 'dahsyat' dengan cara apapun yang membuat kami menjadi repot" ungkap sang pentolan Noe disela-sela acara 'Dahsyatnya Ulang Tahun' tanggal 24/3/2009.

Dilain hal, Letto yang beranggotakan Noe (Sabrang Mowo Damar Panuluh) vokalis, Patub (Agus Riyono) gitaris, Arian (Ari Prastowo, Bantul) bassis, dan Dhedot (Dedi Riyono) sebagai drummer itu mengaku kalau merasa bangga bisa manggung bareng bersama 50 musisi besar lainnya dalam acara 'Dahsyatnya Ulang Tahun' hari ini di RCTI.

"Yang jelas, kami bangga bisa manggung di acara ini. Sesuai dengan temanya, Dahsyatnya Ulang tahun, mudah-mudahan acara ini dapat terus Dahsyat!" tambah anak Emha Ainun Najib itu.

Source: rileks.com
Letto On Facebook

Monday, March 16, 2009

What's in a `Letto'


Catchy words or characters from children's tales have been popularized into household names by a new crop of musicians here. But these Yogyakarta-based musicians prefer to start afresh. What does Letto mean? Search for it in any Indonesian or Javanese dictionary, and you will find nothing.

Rather than pick a meaningful - yet catchy - name, the members of Letto say they prefer to define who they are through their music.

"The name means nothing, but that's no problem. We want to start clean. We want to set out with a clean sheet that we'll fill in along the way," says guitarist Agus "Patub" Riyono.

Comprising vocalist Sabrang "Noe" Mowo Damar Panuluh, Patub, bassist Ari Prastowo and drummer Dhedot, the members of Letto have known each other for 13 years, since attending the same high school.

It was amid typically Javanese banter and laidback rehearsals that they settled on the name Letto. They first used the name when their English song "I'll Find A Way" was selected for a compilation album featuring various artists, Pilih 2004 (Choose 2004).

Some regard Letto's songs as love songs, others view them as religious. But what Letto want to say in their latest album, Lethologica, is that love has no boundaries.

"In Lethologica, the keyword releases love from the box. We haven't quite released it in our previous albums, because people view it with prejudice," Noe says.


The Jakarta Post, March 2009

Staying True To Their Roots

Yogyakarta-based band Letto believes that when it comes to writing songs, there are two things they should bear in mind: to stay true to their natural self, and to allow everyone to feel an affinity to it.

With six official religions and hundreds of ethnicities spread across the country, the theme of love is inevitable. But Letto wants to show that their love songs can be elegant, not cheesy, by using lyrics that allow people to read between the lines.

For instance, a stanza of “Sandaran Hati” (A Place to Lean My Heart On) in their first album Truth, Cry and Lies (2005), reads: “Peduli ku peduli (I care, yes, I do care), siang dan malam yang berganti (about days and night that change), Sedihku ini tiada arti (My sadness has no meaning), jika kaulah sandaran hati (if you’re the one whom I can lean my heart on).

Some people can interpret the stanza as a love declaration, while others connect it with the love for the Divine Power.

Vocalist Sabrang “Noe” Mowo Damar Panuluh, who writes most of Letto’s songs, said that to understand their songs, listeners should use their imagination and connect it to the songs.
“We don’t want to control the meaning of our songs,” he said.

A similar comment came from guitarist Agus “Patub” Riyono, who said his band created lyrics with a double meaning.

“We want to give room for people to interpret the lyrics as they please,” Patub added.

The recipe has proven to be a success, with their hits chosen as the themes for Indonesian soap operas, as well as inspiring people to write novels, such as Ruang Rindu (A Space for Longing), written by Andi Eriawan, and Sebelum Cahaya (Before The Lights), written by Karla M. Nashar. Both books are published by Gagas Media.

While applying the same recipe for their third album Lethologica that features 12 new songs, Letto spices up their music by inserting elements of ethnic music, such as from Minangkabau, Bali, the Middle East and Java.

Drummer Dhedot said that compared to their previous albums, the new album touched on various aspects of life, such as children, the environment in relation to global warming, and social issues.

“We just completed shooting the music video for ‘Senyumanmu’ [Your Smile] yesterday. We will soon shoot the music video for ‘Kepada Hati Itu’ [To The Heart]. But we don’t know yet which one will be the second video after ‘Lubang Di Hati’ [A Hole in The Heart],” he said.

However, Letto will have to postpone their promotion tour until July, due to permit restrictions during the upcoming general elections.

For the election period, Letto have opted to take a stance as entertainers. They are not even sure whether they will vote.

“We will not be campaigning for any political parties. But if we are asked only to entertain, that won’t be a problem,” Noe said.

“I don’t even know how or who to vote for. There are too many legislative candidates. It’s puzzling,” said bassist Ari Prastowo.

“We have yet to see any legislative candidates promising to eradicate piracy. We would definitely vote for such candidate,” Dhedot said.

“Well, not really,” he added after a short pause.

“Politics in Indonesia is still equivalent to power. It requires no moral requirement to be a candidate. If the candidates spend big on campaigning, they must want to gain big too after they are elected,” Patub said.

When asked whether they considered themselves religious, the band members shot back: “Define religious, please.”

For Letto, religious people are those who keep in mind the afterlife. The four agree that even the simplest things can be associated with religion, depending on how people perceive a religious moment.

Patub said that the band had a very religious moment when they experienced a near-catastrophic landing at Yogyakarta airport, just after completing their concert in Jakarta last year.

“We had to take off again or we would crash. Fortunately, the plane managed to land on the second attempt. At that moment, my life flashed through my head. And I instantly became religious,” he said, grinning.

“Religiosity seeps in during a moment of panic. In that condition, any atheist will definitely recite or remember verses from holy books,” Noe added.

“Well then the atheist must have borrowed other people’s god for that,” Patub quipped.
The other members burst into laughter as Patub glanced at Ari and said: “Hmm, who’s your god? May I borrow your god for a while?”

While they handled such unpredictable occurrences in a jovial spirit, their parents were terribly worried. They said they still phoned their parents to inform that they had arrived safely at each designated destination.

Having known each other for 13 years, their relationship has also bonded their parents, with each parent considering the other band members as their own children.

“For instance, Patub’s mother usually brings over food to my house,” Noe chimed in.

Patub said their parents seldom held a get-together, although they all lived in the same city.

“All our parents usually meet if there’s a wedding reception held by someone in our circle of friends. So the more of us there are that get married, the better our parents’ relationships become,” he said, smiling.

Of the four members, Dhedot remains the last bachelor, after Noe tied the knot last month.
Patub said married life had given him a place to call home when he got bored with the band.
“On the musical side, I feel no change. But music is more than just technique. I have had new life experiences, so I guess it does affect me in some way,” he said.

Ari said married life had changed him in terms of how he saw money.

“Every tune I play now has to contain the tone of Rupiah, Rupiah,” he said with a flat face, causing his friends to smile.

Noe said that with their music as the reflection of their way of life, married life would bring new life experiences.

“Having a wife allows us to get new material for writing songs. But I don’t know much yet, I’ve only been married a month,” he said.

Going with the flow of life, Letto have decided they will not set any targets, and rather wait and see what providence has in store.

“We have many technical plans, but they are just plans, not targets. If we set a target and it doesn’t come out as expected, it will only create disappointment,” Patub said.

“We entered the music industry not to fulfill our targets and ambitions, but rather because we love art. It has all come full circle, then. Someone wanted to hear our song, they liked the song, and then they offered us the chance to be featured in a compilation album,” Noe said.

The concept of serendipity is also evident in their social activities. Letto have held regular charity events for institutions and individuals in need without setting any conditions.

For their second album, Don’t Make Me Sad (2007), Letto donated part of their profit to the Mitra Netra Foundation for the visually impaired to produce books in Braille.

“Our concept for charity is all about serendipity. If we find a person in need and there is a chance to do it, we will respond to that. We don’t show off about it. It doesn’t matter if people find out by themselves, as long as it wasn’t us who leak it to the public,” Noe said.

Letto have distinguished themselves among the many bands in Indonesia, not only through their music, but also through their point of view.

Discography:
Truth, Cry, and Lie (2005)
Don’t Make Me Sad (2007)
Lethologica (2009)


Get to know them better:


Name: Sabrang Mowo Damar Panuluh
Nickname: Noe
Place/DoB: Yogyakarta, June 10, 1979
Favorite city: Banff, Canada
Greatest fear: Caterpillars
Book(s) I currently read: Serat Awang-Uwung
Favorite book: Serat Ambiya, because it’s mind-blowing
The bad side of being a famous musician: Being called famous
Motto: Life is like taking a bath in someone else’s house



Name: Agus Riyono
Nickname: Patub
Place/DoB: Yogyakarta, Aug. 2, 1979
Favorite food: Peanut condiment
Hobbies: Sleep, wake up for a while, sleep again
Favorite city: Jayapura, Papua
Bad habits: Sleeping, seldom taking a bath (Hey, I’m honest about it)
Greatest fear: Bills and claims for payments
Favorite book: Any book about global warming
Idol: Micro and macro environment
The good side of being a famous musician: I can buy my own musical instrument. I no longer have to borrow from friends
The bad side: I have to buy the instrument because it would be too embarrassing to borrow
Childhood dream: Running a bus company, but that’s not yet fulfilled
Motto: Devote yourself to the process, and don’t focus on the result

Name: Dhedot
Nickname: Dhedot
Place/DoB: Yogyakarta, Jan. 23, 1987
Favorite food: Chicken noodles
Hobby: Eating
Favorite city: Yogyakarta
Bad habit: I’m not telling…
Greatest fear: Flying
Book(s) I currently read: Kesaksian Pengawal Pribadi Sukarno (The Testimony of Sukarno’s Bodyguard)
Favorite book: A Thunder of Drums
Idol: My parents
The good side of being a famous musician: Many
The bad side: Many
Childhood dream: To be a development engineer
Motto: Keep the high spirit!

Name: Ari Prastowo
Nickname: Ari
Place/DoB: Bantul, March 27, 1979
Favorite food: Eggs
Hobby: Listening to music
Favorite city: Makassar, South Sulawesi
Greatest fear: Hurting Allah
Book(s) I currently read: Sheikh Siti Djenar. I read it to understand why his views are considered controversial
Favorite book: Biography of Jaco Pastorius. He’s a hero in the music world, especially as a bass player
Idol: Environment
The good side of being a famous musician: It opens the opportunity to make friends with a wider public
The bad side: People say that being famous means we can get anything we want
Childhood dream: To be a photographer
Motto: Memayu hayuning buwono (a Javanese idiom, meaning that we are obliged to take care of the environment)

The Jakarta Post, March 2009

Sunday, March 15, 2009

Lethologica: Ketika Letto Berlogika

Review: Detik.com
Tanggal: 11 Maret 2009


Letto kembali hadir lewat album ketiganya bertajuk 'Lethologica'. Berbeda dari album sebelumnya yang sedikit sangar, Letto kini berlogika sehingga pendengarnya sulit berartikulasi.

Coba kita telaah dulu arti dari Lethologica. Lethologica adalah kelainan psikologis yang membuat seseorang kesulitan mengartikulasikan pemikirannya mengenai kata kunci, nama ataupun kalimat di sebuah percakapan. Tapi ini kelainan psikologis yang tidak permanen.

Hmmm... mungkinkah album ini bisa membuat Anda mengalami kesulitan mengartikulasikan Letto? Atau apapun di samping Anda? Kita simak saja.

Album ini dibuka dengan hits 'Lubang di Hati' yang sangat melodik. Noe cs memberikan sentuhan pop yang catchy. Dibanding lagu lain, 'Lubang di Hati' seperti penyambung dari album sebelumnya.

Lagu-lagu selanjutnya jelas berbeda. Simak saja 'Itu Lagi Itu Lagi' yang terdengar lebih fun. Melodinya pun unik dengan sentuhan kibord. 'Kepada Hati Itu' pun terdengar sangat catchy. Sentuhan pop yang dipadukan iringan string session. Mungkin nggak ya dipilih sebagai single selanjutnya?

'Ku Tak Percaya' punya lirik yang sangat dalam. Sentuhan pop dengan string yang menyenangkan telinga. Kita contek sedikit liriknya.

Kata-kata tak'kan pernah punya makna
Ketika hati tak bicara jangan kau berikan padaku
Mimpi-mimpi surgamu
Jangan kau tawarkan padamu, keindahan yang semu

Tanpa itu aku mampu.. menjalani hidupku
Dan kukatakan kepadamu kata hatiku
Ku tak percaya...

'Bird Song' pun tak ketinggalan. Lagu yang berbalut bahasa Inggris ini dibalut gitar akustik dengan nuansa ballad. Mellow dan disisipi iringan perkusi.

Lagu berbahasa Inggris lainnya yaitu 'Almost'. Lagu yang dibuka dengan iringan drum itu terdengar lebih jazzy. 'Senyumanmu' sedikit mengingatkan kita pada nuansa lagu 'Yogyakarta' milik Kla Project. Hanya nuansanya saja, karena musiknya terdengar jauh berbeda. Lagu ini meneduhkan dan menghangatkan.

Satu lagi yang unik dari album 'Lethologica' yaitu sampulnya. Mereka mengemas sampul album dalam banyak lembar "kehidupan". Ada lirik dengan gambar yang menceritakan makna si lagu tersebut. Sementara bagian depannya memperlihatkan para personel Letto yang tengah berjalan namun tampak atas.

Secara keseluruhan, album ini jauh berbeda dengan karya Letto sebelumnya. Menyejukkan dan membuat nyaman. Anda cukup duduk manis di sofa ditemani secangkir teh atau orang tercinta. Dan biarkan semua "terlelap".

Senyumanmu (Chord & Lyric)


Intro A f#m E D

A f#m
Indah Matamu Derai Rambutmu
E D
Menunjukkan Itulah Keindahan
A f#m
Yang Memberikan Bentuk Senyuman
E D
Sebentuk Usapan Kepada Hati

Intro A f#m E D

A f#m
Sinar Wajahmu Lembut Katamu
E D
Seperti Nyamanku Menggubah Dunia
A f#m
Kian Terasa Begitu Hampa
E D
Semuanya Sirna Tanpa Cinta

Bm E A
Kutemukan Arti Kerinduan
Bm E D E
dan ku Mengerti Yang Kucari

Chorus
A
Oh Bukanlah Cantik Mu Yang Kucari
f#m
Bukanlah itu Yang aku Nanti
C#m D E
Tetapi Ketulusan Hati Yang Abadi
A
ku Tau Mawar Tak Seindah Dirimu
f#m
Awan Tak Seteduh Tatapanmu
E D E A
Tetapi Kau Tau Yang Kutunggu Hanyalah Senyummu

A f#m
Sinar Wajahmu Lembut Katamu
E D
Seperti Nyamanku Menggubah Dunia
A f#m
Kian Terasa Begitu Hampa
E D
Semuanya Sirna Tanpa Cinta

Interlude f#m E D
f#m E D

Bm E A
Kutemukan Arti Kerinduan
Bm E D E
dan ku Mengerti Yang Kucari

Outro A f#m E D 2x E A

Tuesday, March 10, 2009

Letto On March 2009


08.03.2009: SCTV Hip Hip Hura, Sidoarjo
09.03.2009: Syuting Klip "Senyumanmu", Sentul Bogor
11.03.2009: Promo Media Cetak, Jakarta
12.03.2009: Welcome BCA Tapping, Metro TV, Jakarta
19.03.2009: Take Rec Audio "ClassMusic Heroes", Fmusic, Jakarta
20.03.2009: SCTV "Playlists" Live, Studio Penta, Jakarta 
21.03.2009: Gebyar BCA Live, Indosiar, Jakarta
22.03.2009: Show Score Cafe, Manado (TBC)
23.03.2009: Show - Undian BRI, Manado (TBC)
24.03.2009: RCTI "HUT Dahsyat", RCTI, Jakarta
27.03.2009: RCTI "Panasonic Awards", RCTI, Jakarta
29.03.2009: Syuting ClasMusic Heroes, Seminyak, Bali
30.03.2009: Syuting ClasMusic Heroes, Pulau Penyu, Bali


Monday, February 16, 2009

Lethologica: Cetak Biru Letto

Yogyakarta memang merupakan kota dengan atmosfer yang sangat mendukung untuk berjalannya proses kreativitas, terutama di bidang seni. Terbukti beberapa band yang populer di kancah nasional saat ini merupakan hasil "didikan" kota itu. Sebut saja, Sheila on 7, Jikustik, Seventeen, The Rain, Shaggy Dog, Hello, dan juga Letto.

Mereka merupakan "anak-anak" Yogyakarta yang dianggap bisa menaklukkan telinga banyak pecinta musik Tanah Air. Letto, misalnya, menurut perusahaan rekaman yang menaungi mereka, mencetak angka penjualan album terbaru mereka, Lethologica, hingga menembus angka 50.000 keping dalam waktu beberapa hari saja sejak album itu dirilis.

Lethologica merupakan album ketiga Letto--Noe (vokal), Pathub (gitar), Arian (bas), dan Dedy (drum). Sajian mereka terdengar matang. Bisa dibilang, mereka telah menancapkan cetak biru musik mereka, sehingga orang-orang mengenali bahwa suguhan mereka, dari musik hingga setting sound yang terdengar, identik dengan Letto. Pop yang beraroma rock, folk, jazz, dan sesekali diberi bumbu etnik, dengan barisan lirik yang filosofis dan sarat makna, terkadang menyentuh wilayah religius dengan pekat.

Daya magis album ini bertambah dengan campur tangan duo produser musik bertangan dingin yang juga sukses turut mengorbitkan Peterpan, Nidji serta d'Masiv: Noey dan Capung "Java Jive".

Single pertama mereka, Lubang di Hati, merupakan tipikal lagu pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh hampir semua manusia. Tentang pencarian manusia akan sesuatu yang dapat melengkapi hati mereka, itu bisa cinta, itu bisa cita-cita, itu bisa seseorang, ujar penggalan liriknya. Aransemen musiknya dibuat dengan sangat membumi, cocok dipasang oleh anak-anak gunung yang sedang berusaha menaklukkan puncak gunung.

Setelah Lubang di Hati, yang dipasang di track pertama, Lagu Senyumanmu menyusul dengan anggunnya di track kedua. Lagu ini terdengar sangat Yogyakarta. Sebab, Sheila on 7 dan Jikustik juga sangat mungkin membuat lagu dengan pola serupa lagu ini. Lagi-lagi gaya aransemen yang membumi dan mengalir menjadi andalan Letto. Jika lagu ini dipasang sebagai single kedua dan menjadi hit besar, sangat mungkin para pengamen yang berusaha mengais rezeki di jalanan akan memasukkan lagu ini ke dalam daftar lagu mereka.

Hit besar mereka, Ruang Rindu, yang ada dalam album pertama, agaknya menginspirasi mereka untuk membuat lagu dengan model serupa, Kepada Hati Itu. Lagu ini sangat berpotensi menjadi hit karena melodi dan lirik macam inilah yang menjadikan Letto band Indonesia yang layak diperhitungkan.

Ku Tak Percaya, yang ada di track ketujuh, juga patut diperhitungkan untuk menjadi single berikutnya. Lagu ini akan terdengar menonjol jika diputar di radio dan cepat melekat di kepala. Lagu ini merefleksikan kekecewaan seseorang kepada orang yang mereka cinta dan sedikit membawa emosi kemarahan.

Letto berusaha menjelma menjadi Dewa Budjana atau Tohpati ketika memainkan nomor instrumental Lethologica. Di sini tertangkap kematangan musikalitas para personel Letto. Komposisi, melodi serta aransemen yang rumit mereka perlihatkan di sini. Tak hanya itu, mereka juga menghiasi lagu ini dengan bebunyian alat musik etnik. Mungkin ini merupakan lagu paling keras dalam album Lethologica, karena anda tak akan menemukan lagu yang bertempo lebih cepat dan lebih distorsif ketimbang lagu ini.

Dua belas lagu yang terserak dalam album terbaru Letto ini memiliki kekuatan tersendiri. Letto sengaja meletakkan nyawa dan rasa yang berbeda-beda pada setiap lagu. Ini bukan merupakan album yang memiliki benang merah antarlagu. Setiap lagu memiliki kesan, makna, serta nyawa tersendiri. (Adhika Prasetya/Kompas TV)

Saturday, February 07, 2009

Sayap-Sayap Letto

Untuk membuat lirik, mereka memilih kata-kata yang menggugah.

Sekitar 12 tahun yang lalu, Patub, Arian, dan Noe adalah teman satu sekolah di SMA 7 Yogyakarta. Arian dan Noe banyak terlibat dalam kegiatan kesenian seperti teater dan pantomim. ''Bahkan, saat itu saya belum kepikiran untuk main band,'' kata Sabrang Mowo Damar Panuluh atau cukup disapa Noe.

Belakangan, mereka mengejar mimpinya masing-masing. Noe malah terbang ke Kanada untuk melanjutkan pendidikannya di bidang Matematika dan Fisika. Sementara Patub dan Aris bertemu kembali pada tahun 1999. Saat itu lokasi tempatnya nongkrong di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta, akan diubah menjadi sebuah studio musik. Mereka kemudian diminta untuk mengerjakannya. ''>Pokoke waktu itu bagaimanapun caranya harus jadi studio dan bukan tempat penyimpanan sepatu,'' ujar Patub berkelakar.

Meski terpisah oleh jarak, dalam pengelolaan studio baru itu, Patubmasih sering berkomunikasi dengan Noe melalui dunia maya. Mereka banyak berdiskusi tentang sound engineering dan berbagai hal tentang audio. Sesekali Noe mengirimkan buku yang berkaitan dengan hal itu. Mulai saat itu juga mereka mulai belajar mengolah suara dengan komputer. ''Wah, dari yang dulu cuma bisa on off aja, sekarang sudah bisa bongkar, tapi nggak bisa masang,'' ujar Patub yang langsung mengundang gelak tawa rekan-rekannya yang lain saat berbincang dengan Republika di salah satu pojok ruangan Musica Studio, tempat mereka bernaung.

Dari sekadar belajar, mereka pun mencoba membuat dan mengolah lagu sendiri. ''Daripada merusak lagu orang yang lebih baik belajar pakai lagu sendiri,'' kata Patub. Dengan membuat lagu sendiri, mereka lebih bebas untuk mengatur komposisinya karena hanya akan dikonsumsi pribadi. Saat itu mereka hanya ingin belajar dan belum terpikir untuk membuat band. Sekitar empat lagu berhasil mereka ciptakan, yang salah satunya berjudul Sebenarnya Cinta. Lagu-lagu buatan sendiri itu kemudian diminta oleh teman-teman nongkrong mereka yang memutarnya untuk didengarkan bersama-sama di berbagai tempat.

Lagu-lagu yang disebarkan oleh teman-teman mereka itu akhirnya sampai ke salah satu perusahaan rekaman di Jakarta, Musica Studio. Perusahaan itu pun menawarkan rekaman pada pria-pria yang haus belajar tentang musik ini. Akan tetapi, untuk memasuki jenjang itu, mereka harus mempunyai identitas sebagai sebuah kelompok. Akhirnya, seiring dengan kepulangan Noe dari Kanada, pada tahun 2004 grup band bernama Letto pun muncul dengan formasi Noe sebagai vokalis, Patub (Agus Riyono) memainkan gitar, dan Arian (Ari Prastowo) yang memegang bass. Sedangkan Dhedot (Dedi Riyono) yang didapuk sebagai drummer masuk belakangan.

Mereka pun mengambil nama Letto secara spontan. Kata itu sendiri tidak akan ditemukan maknanya di berbagai kamus. Mereka sengaja mencari sebuah kata tanpa arti dan tidak merujuk pada apa pun. Makna kata Letto adalah perwujudan dari grup band yang mereka bentuk itu. ''Maksudnya, arti kata itu akan diisi dengan apa yang telah kita lakukan, dengan perjalanan serta proses kreatif kita,'' ujar Patub.

Talang air
Lirik-lirik Letto yang puitis yang bermakna dalam boleh dibilang membuatnya berbeda dengan grup band kebanyakan. Meski begitu, Noe tidak ingin mendefinisikan Letto sebagai grup band dengan lagu-lagu puitis. ''Tentang definisi lirik puitis saja sampai sekarang kita tidak tahu. Pelabelan itu datang bukan dari kita, tapi dari pendengar atau orang yang memberikan komentar. Kita tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa kita itu puitis,'' ungkapnya.

Tentang inspirasinya dalam membuat lirik-lirik yang dinilai puitis itu, Noe kemudian bercerita tentang prosesnya dalam membuat lirik. Dia sebagai penulis lirik lebih senang dianalogikan sebagai talang air. ''Kalau inspirasi itu seperti hujan dari langit, kita hanya menangkap air itu kemudian mengalirkannya seperti sebuah talang,'' ujarnya.

Dia tidak akan menggunakan kata-kata aneh dalam liriknya. Agar dimengerti, kata-kata sehari-harilah yang menjadi pilihannya. Baginya, yang terpenting adalah pemilihan kata yang menggugah untuk lirik itu. Sebuah kata dipilih karena dinilai mampu mewakili pesan yang hendak dia sampaikan. Sebuah kata yang bisa menunjukkan nuansa yang ingin dia ungkap serta sayap-sayap yang ingin dia kembangkan.

Sayap-sayap itu merupakan makna-makna tersembunyi yang sengaja dihadirkan dalam setiap larik. Noe kemudian memberikan contoh seperti lagu mereka Sandaran Hati yang awalnya orang mengira lagu ini tentang cinta. Namun, beberapa bulan kemudian, mereka memahami maknanya yang tentang Ketuhanan. Atau, lagu Sebelum Cahaya yang setelah delapan bulan sejak peluncurannya baru dimengerti bahwa lagu itu tentang shalat malam. ''Kita memang ingin lagu itu tidak dipandang dari satu sisi saja. Lagu itu bagus kalau bisa diambil maknanya bagi yang mendengar atau membaca,'' ujar Noe.

Republika, Sabtu, 07 Februari 2009

Thursday, February 05, 2009

Warna Pelangi Nusantara (Letto dan Kebudayaan)

Lantunan single dari album terbaru Letto Lethologica sudah mulai bergema di radio-radio dan video klipnya lalu-lalang di tivi swasta. Lethologica mencoba menghadirkan nuansa baru untuk para pendengar dan pecinta musik Letto. Banyak polesan yang lebih berani dan ekspresif. Bila tidak bisa dikatakan Matang, kini Letto kelihatan lebih percaya diri. Kepercayaan diri ini bukan serta-merta akibat dari kemampuan bermusik dan daya eksplorasi yang lebih berani. Melainkan juga karena ada sentuhan tradisional pada beberapa lagu di dalam album ini. Letto sangat percaya bahwa seni dan tradisi yang sudah dilahirkan oleh para pendahulu negeri ini sangat agung dan tidak boleh disepelekan, meskipun mau tidak mau melihat kenyataan sekarang musik atau apapun yang bernuansa kedaerahan selalu mendapat tempat yang kurang apresiatif.

Letto melihat secara lebih adil, bahwa semua khasanah musik baik yang modern maupun yang tradisional adalah kekayaan intelektual dan karya cipta yang patut mendapat apresiasi seimbang. Ada beberapa hal justru yang membuktikan bahwa sentuhan tradisi lebih merasuk ke dalam nurani dan meresap sejuk ke dalam jiwa. Lihat saja kecenderungan orang-orang sibuk modern yang berbondong-bondong menggandrungi Yoga, Tantra, dan bentuk-bentuk meditasi yang memakai alunan musik bernuansa tradisi.

Kepercayaan bahwa musik tradisi atau sifat tradisional merupakan harta tak ternilai, menuntun Letto untuk lebih dalam lagi berbicara di sektor kebudayaan. Sebuah sistem masyarakat yang tertata, teratur, dan tertib, tidak bisa melepaskan diri dari prinsip kebudayaan. Jaman sekarang perilaku absurd masyarakat menyulitkan identifikasi karakter atau identitas sebuah masyarakat. Apakah masyarakat ini berkarakter hedon? Ataukah sangat konservatif? Ataukah Liberal? Atau apa? Absurditas semacam ini kemungkinan baru mulai terbentuk sekitar 63 tahun terakhir ini, dan semakin absurd akhir-akhir ini. Sebelumnya, masyarakat masih punya tata konsep yang relatif sama soal Sopan-santun, Unggah-ungguh, dan Toleransi. Inilah saat yang baik untuk menguak kembali ajaran Adiluhung Leluhur guna menjadi Diri yang memiliki Jati. Letto dan Plettonic kota Solo hendak merealisasikan cita-cita ini dalam bentuk persembahan budaya yang digelar selama 3 (tiga) hari berturut-turut di sepanjang Jl. Slamet Riyadi kota Solo.

Tunggu tulisan selanjutnya "Solo Adilihung 2009"

_:: ampuh ::_

Sunday, February 01, 2009

Tiga Logika Dari Letto

Artikel ini dimuat di Majalah RollingStone Indonesia, Februari 2009

Hari ini akan ada penampilan spesial dari Letto. Jangan pulang sampai acara selesai ya,” kata MC membuka konferensi pers Kamis [22/1] siang itu, di Club XXI, Jakarta Theatre. Lampu ruangan dimatikan, dan MC pun memanggil Letto untuk tampil. Gitaris Patub, bassis Arian, drummer Dhedot serta beberapa orang additional players tiba-tiba muncul dari arah belakang jurnalis yang duduk di bangku di depan panggung. Setelah beberapa menit musik dimainkan tanpa kehadiran vokalis, Noe muncul. Serentak, beberapa fotografer yang tadinya hanya diam menyaksikan Letto tampil, mulai menggunakan kameranya dan mengambil gambar Letto.

Letto merilis album ketiga mereka yang diberi judul Lethologica, yang artinya adalah kelainan psikologis di mana seseorang tak bisa mengingat kata kunci, frase, atau nama ketika melakukan pembicaraan. Di sampul albumnya, mereka menuliskan arti kata-kata itu. Selain Lethologica, mereka juga menuliskan Theologica: reasoning discourse concerning the divine, our purpose, our relationship. Or is there a meaning for the word “‘our/us” at all? Juga kata Lettologica: cara mereka berbicara. Di sampul album, ada foto empat orang personel sedang berjalan, diambil dari atas. Hanya Noe yang memandang ke arah kamera. Foto Noe juga terpampang di atas CD. Di video klip yang diputar siang itu, Noe jadi bintang utamanya. Personel lain mendapat porsi yang sedikit. Wajah mereka hanya terlihat beberapa detik saja, nyaris di akhir cerita. Tapi di sampul album, Noe menuliskan doa yang salah satunya: Ya Allah aku bukan siapa-siapa, dan keep me that way please.

Jika Anda merasa bukan siapa-siapa, kenapa di video klip dan di sampul album wajah Anda yang mendapat porsi paling banyak?” tanya saya.

Jawabannya panjang nih, nggak apa-apa kan? Saya suka pertanyaan begini,” kata Noe sambil tersenyum seraya memandang ke arah MC seperti meminta persetujuan, “saya tak menganggap dengan mendapat porsi yang banyak di video atau di sampul itu sebagai siapa-siapa. Buat Anda mungkin dengan begitu adalah sudah jadi siapa-siapa. Saya justru menganggap itu kutukan. Gimana menurut yang lain?

Drummer Dhedot dan bassis Arian tak bereaksi mendengar umpan Noe yang nada dan tempo bicaranya selalu perlahan.

Soalnya wajahnya yang paling pantes dijual ya dia. Lagipula, kami nggak ngerasa ada masalah dengan itu. Yang penting pendapatannya sama,” kata Patub sambil tertawa.

Gimana Mas? Saya senang nih ada pertanyaan begini. Biar kita bisa berdiskusi,” kata Noe.

Iya, gimana nih? Masih mau nanya?” tanya MC.

Ah tidak, terima kasih. Bisa-bisa kita pusing siang ini denger kata-kata berat dari Noe,” jawab saya sambil tertawa.

Sesi tanya jawab diadakan di sela-sela penampilan Letto. Dua lagu dibawakan lantas tanya jawab digelar. Ada jurnalis yang memuji betapa Musica selalu tepat waktu mengeluarkan album, soal benang merah albumnya, pertanyaan standar soal beda album sebelumnya dengan album yang baru, soal apakah Letto sengaja membuat lagu “Ku Tak Percaya” dalam rangka menghadapi pemilu 2009 dan pengalaman pribadi siapakah itu.

Benang merahnya pasti ada, karena yang bikin orangnya sama,” kata Noe.

Kalau soal beda album ini dengan yang sebelumnya, justru kami ingin orang lain yang mendengarkan bisa ngasih tahu bedanya.

Lagu ‘Ku Tak Percaya’ sepertinya pengalaman pribadi semua orang ya. Yang selalu diberi janji-janji, pada saat pilkada misalnya. Ini soal ajakan untuk golput? Ah kalau itu sih, terbuka untuk interpretasi.”

Sunday, January 25, 2009

Memberi Makna Setiap Lagu

Judul: Lethologica
Penyanyi: Grup Letto

Produksi: Musica Studio’s

Review: Kompas

Hampir semua lirik di album ketiga Letto ini adalah stok lama, atau sejak lama telah ditulis oleh Noe, vokalis Letto. Noe ini memang gemar membikin syair dan lirik lagu, yang merupakan bentuk pengamatannya terhadap alam di sekelilingnya.

Beberapa kalimat mengandung metafora, yang kemudian bisa ditafsirkan macam-macam. Bahkan, lagu ”Sebelum Cahaya” yang ada di album kedua, Don’t Make Me Sad, masih ditafsirkan orang setelah delapan bulan album beredar. Seperti dikatakan Noe, orang itu menafsirkan ”Sebelum Cahaya” sebagai shalat malam (tahajud).

Begitulah lirik menjadi kekuatan bagi Letto, yang berawak Noe (vokal, keyboard), Patub (gitar), Arian (bas), dan Dedy (drum). Kekuatan lain adalah lagu yang enak didengar dan gampang ditirukan. Dipadu dengan sound gitar yang nge-blues, musik Letto terdengar makin khas. Letto pun menyerap berbagai kemungkinan pengembangan teknologi yang diinternalisasi ke dalam aransemen musik. ”Kami mencoba seenak mungkin. Kalau tidak enak, ya kami tidak pakai,” tukas Noe.

Ada 12 lagu dalam album ketiga ini, dengan single hit ”Lubang di Hati”.

Produser Eksekutif Musica Studio’s Indrawati Widjaja mengatakan, sejak beredar 8 Januari 2009 hingga pekan ini, album ini sudah terjual lebih dari 50.000 keping. Letto hadir dengan konsep: mereka memberi makna pada setiap lagu.

Friday, January 23, 2009

LETHOLOGICA Streaming



23.01.2009: Happy B'Day Dedy Riyono


"selamat ulang tahun buat drummer kita... semoga tambah sukses dan segera menyusul sang kakak....."

About Dedy
Dedy Facebook Page
LETTO Pages

Letto Bikin Lagu Anak-Anak

Kontes menyanyi anak-anak Idola Cilik ternyata mendatangkan inspirasi untuk grup band Letto. Di album terbaru mereka, Noe dan kawan-kawan memuat sebuah lagu anak-anak. Mereka ingin anak-anak Indonesia tak melulu nyanyi lagu orang dewasa.

"Di sana (Idola Cilik-red), ibu-ibu minta kami membuat lagu khusus anak-anak, agar anak-anak bisa menyanyikannya dan tidak menyanyikan lagu-lagu dewasa," ujar Noe sang vokalis dalam jumpa pers di Djakarta Theater XXI Lounge, Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (22/1/2009).

Selain 'Layang-layang', ada 11 lagu istimewa lain di album terbaru Letto. Album ke-3 grup band asal Yogyakarta itu dinamai Lethologica. Apa maksud Lethologica?

"Itu nama asli dari sebuah kelainan psikologis. yang membuat seseorang bisa lupa, tentang sebuah kata kunci atau nama dalam sebuah percakapan," jelas Noe.

Nama Lethologica dipilih sebagai judul album karena anak-anak Letto pernah kluliah psikologi. Nama berbahasa Inggris itu juga konsisten mereka pakai sejak merilis album pertama.

Dalam menggarap album terbarunya, Letto tak menemui kendala berarti. Kesulitan paling besar yang pernah mereka temui adalah seringnya mati lampu saat proses rekaman Lethologica

source: detik

Wednesday, January 21, 2009

Launching LETHOLOGICA Malam Ini Di RCTI


Tanggal 21 januari, hari rabu, album ketiga LETTO akan secara resmi diluncurkan di Studio 1 RCTI Jakarta. Album berjudul LETHOLOGICA yang secara ekskluif akan dibawakan langsung LETTO secara live di acara Duet Super Band mulai jam 10.30 malam ini.

Album berisi 12 lagu kombinasi lagu berbahasa Indonesia dan Inggris serta satu lagu semi instrumental merupakan album ketiga setelah Truth Cry & Lie dan album Don't Make Me Sad yang diterbitkan Musica Studio's dengan single andalan Lubang Di Hati. Single ini juga menjadi lagu tema salah satu sinetron di RCTI berjudul Rafika.

Tunggu aja penampilan malam ini langsung dari studio RCTI.


Monday, January 19, 2009

Yang Unik Dari Single Lethologica



lethologica
by: letto

[a word for when a word loses meaning. there is a word that explains the effect of saying a word repeatedly until it loses its meaning. what is that word? i know i've heard it, but can never remember it]

salah satu lagu yang unik dan menarik dari album ketiga letto ini diberi nama sesuai judul albumnya 'lethologica', lagu tanpa lirik kecuali lengkingan penggalan kata 'lethologica' yang berulang menjadikan single ini melawan pasar alias permainan musik eksperimental khas letto sesungguhnya, ada paduan sayatan gitar patub dan lengkingan noe serta kombinasi unik drum dedy & bas milik arian. banyak perpaduan unsur etnik yang muncul di sini misalnya musik tanah minang. meski sepintas kadang rasa musik jazz fushion di era karimata atau krakatau dahulu kala. musik eksperimental dipadu musik etnis ini seringkali dibawakan letto pada saat pentas membawakan lagu hitsnya diaransemen ulang dengan paduan musik etnis seperti minang, bali, jawa bahkan musik khas dari china.

penasaran dengan single lethologica ini? simak aja di: LETTOpages

Friday, January 16, 2009

Lethologica, Bermain Dengan Kata-kata


Bermain dengan kata-kata mungkin sudah jadi kebiasaan Noe sejak kecil. Jadi tak perlu heran kalau dia punya setumpuk lirik yang siap untuk dituangkan dalam nada-nada. Kadang terkesan sangat serius dan cenderung religius. Padahal di balik semua itu, Letto menyimpan kenakalan-kenakalan yang bisa bikin kita tertawa terpingkal.

Dan Lethologica bukanlah sebuah kesalahan pengetikan atau sok pelesetan. Lethologica yang merupakan nama dari sebuah kelainan psikologis yang membuat seseorang bisa lupa tentang sebuah kata kunci atau nama dalam sebuah percakapan. Jelas beda dengan Lettologica yang jadi dasar band ini melangkah. Terlepas dari itu pelesetan atau tidak, namun bermain dengan kata-kata adalah hal yang sangat menyenangkan. Apalagi kalau kata-kata itu memberi sebuah makna baru.

Namun jangan terjebak untuk berpikir terlalu berat tentang album ini. Toh, saat mereka tiba pada proses penyelesaian lagu, Lettologica (yang artinya cara berpikir anak-anak Letto) berfokus pada keindahan, kemudahan diterima dan menghibur hati. Apalagi mereka bekerjasama dengan dua orang produser yang sudah terlihat kehebatannya memoles band, Noey dan Capung. Matang deh lagu mereka.

Ada beberapa lagu di album ini yang pantas mendapatkan perhatian khusus. Yang pertama adalah Lubang Di Hati. Sebuah lagu yang bisa membuka mata kita dan melihat dunia ini dengan perspektif yang berbeda. Memandang cinta dengan pola pikir dan emosi yang lebih tertata. Dan mengajak kita tak pernah berhenti melalui kesenangan hidup yang kadang melelahkan. Dipilih sebagai single pertama dengan penuh harapan bahwa Letto bisa mengisi lubang di relung relung hati para pecinta musik.

Berikutnya Letto menawarkan sebuah obat mujarab untuk menghilangkan kesedihan. Yaitu sebuah lagu berjudul Senyumanmu. Terdengar klise mungkin, tapi kita semua tentu percaya kalau sebuah senyuman bisa memberikan efek positif ke semua orang. Satu senyuman yang tulus bisa kehancuran hati seseorang. Sebuah senyuman bisa memancarkan lagi keindahan yang ada di dalam diri kita. Itulah yang ingin kami lihat, sebuah senyuman di wajah kalian.

Selanjutnya ada sebuah lagu yang berjudul Ku Tak Percaya. Lagu ini bisa menggambarkan kehancuran hati seseorang saat termakan janji palsu sang buaya darat. Dan lagu ini bisa jadi theme song untuk tahun 2009 yang akan diwarnai berlangsungnya pesta demokrasi. Saat banyak orang menawarkan berbagai janji-janji indah, untuk menarik perhatian kita. Lagu ini bisa membantu kita untuk mempertanyakan lagi janji-janji yang mereka banggakan itu. Apakah mereka memang pahlawan yang kita nanti, atau hanya sekedar buaya penebar janji.

Secara musikal, Letto mencoba mengimbangi permainan kata-kata yang puitis penuh makna itu dengan komposisi yang bisa memainkan emosi. Tetap simple, tapi punya sentuhan-sentuhan di setiap lagu untu membawa kita untuk lebih mendalami arti lagu tersebut. Dan kalau Noe mendominasi penciptaan lirik, bukan berarti personel yang lain enggak mau menulis lirik. Satu lagu istimewa di persembahkan oleh Patub dengan judul Itu Lagi Itu Lagi. Lirik sinisme ringan penuh dengan canda di balut oleh arransemen musik yang bernuansa sangat riang. Bisa membuat kita seperti berada di taman bermain.

Secara konsep, Letto terlihat sangat berbeda dengan band-band yang sekarang ini banyak bermunculan. Mereka tidak terseret arus bermain dengan nada-nada melayu, tapi tetap berusaha eksis dengan gaya mereka sendiri. Bermain dengan kata-kata yang penuh makna dan musik ringan yang menghanyutkan. Bahkan konsep kemasa album pun membuat mereka terlihat berbeda. Artwork yang memamerkan karya-karya fotografi dalam potongan-potongan kecil, menunjukan kalau mereka bukanlah band yang sekedar mencari peruntungan dengan menjual satu dua lagu dalam kemasan seadanya. Ini adalah sebuah album komplit yang mungkin susah dicari sekarang ini. Sebuah album yang layak menjadi koleksi di rak cd kita semua. Semoga bisa menjadi pengisi lubang di hati dan mengisi hari-hari kita.

Album: Lethologica (2009)
Artis: Letto
Produksi: Musica Studio's
Produser: Noey & Capung

.:: Press Release Musica Studio's ::.

Thursday, January 08, 2009

LETHOLOGICA, Album Terbaru LETTO

Hari ini album ketiga LETTO sudah beredar di toko-toko musik dan menurut rencana tanggal 21 januari ini juga akan dilaunch secara resmi. Salah satu single andalan 'Lubang Di Hati" sudah terlebih dahulu di lempar di pasaran dan diperdengarkan via radio & RBT bahkan menjadi lagu tema salah satu sinetron di TV swasta.

Album LETHOLOGICA berisi 12 track terdiri dari 3 lagu berbahasa Inggris dan 9 lagu berbahasa Indonesia dengan aneka macam warna musik khas letto dan lirik yang menyentuh. Banyak lagu kuat di album ini dan diperkirakan juga laku menjadi lagu tema sinetron setelah single 'Lubang Di Hati". Warna musik etnis juga merasuki sebagian lagu di album ini termasuk musik etnik Bali dan Minang selain muik etnik Jawa tentunya.

Menurut Noe beberapa waktu yang lalu, judul album Lethologica mewakili perasaan Letto yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan musik, Lethologica sendiri punya arti penyakit disorder, menggambarkan saat dimana kita tidak bisa mengingat apa yang kita inginkan

Buruan dengerin album ini dan resapi makna cinta meskipun kata LETTO sendiri album ini gak ada hubungannya dengan cinta tetapi kenyataan di dunia musik cinta masih jadi komoditi dan cinta khas LETTO adalah cinta yang universal....

Untuk mendengarkan track demi track album in dapat mengunjungi LETTOpages di:
LETTO On Facebook

Track List (in alpabetical order):
1.Almost
2.Bird Song
3.Hapuskan Keluhanmu
4.Itu Lagi Itu Lagi
5.Jalan Yang Hilang
6.Kepada Hati Itu
7.Ku Tak Percaya
8.Layang-Layang
9.Lethologica
10.Lubang Di Hati
11.Putih
12.Senyumanmu


Author: Tamtomo | More Music On: www.tamtomousic.co.cc

Wednesday, January 07, 2009

Letto Pilih Rasa Bali dan Minang


Pembelajaran musik yang telah dilalui Letto sejak memulai karier di dunia musik, membawa nuansa baru ke album ketiga mereka, yang berjudul Lethologica. Unsur-unsur musik etnik dimasukkan Letto ke dalam beberapa lagu terbaru mereka.

"Jika pendengar lebih teliti, pasti akan menemukan musik etnik Bali dan Minang di beberapa lagu dalam album ketiga Letto," kata Noe, vokalis Letto, saat ditemui di Studio Penta, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (6/1).

Kendati begitu, benang merah yang mengidentikkan lagu-lagu terbaru dengan lagu-lagu Letto yang telah menjadi hit, dikatakan Noe, akan tetap lekat. "Karena yang bikin lagu orangnya itu-itu juga, dengan sendirinya akan muncul benang merah dalam setiap lagu Letto. Yang bertambah hanya referensi kami dalam bermusik," sambungnya.

Bali dan Minang dipilih Letto bukan karena mereka menilai keduanya lebih menarik dibandingkan dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. "Tapi, karena musik Bali dan Minang kami rasa cocok dimasukkan ke lagu Letto," ujarnya.

Judul Lethologica pun dipilih sebagai perwakilan dari lagu Letto yang mengungkapkan sebuah perasaan yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. "Lethologica itu sebuah penyakit disorder. Lupa keyword dari kalimat yang ingin kita katakan. Album ini juga enggak ada hubungannya dengan cinta. Tapi, bisa diterjemahkan sebagai suatu bentuk cinta," terang Noe. Rabu (6/1), album Lethologica akan mulai dilempar ke pasar.

Sunday, January 04, 2009

Album Release LETHOLOGICA?


released on 08 january 2009
single lubang di hati
theme song sinetron rafika on rcti

Album ke-3, Letto Jagokan 'Lubang di Hati'

Band asal Yogyakarta, Letto menuju tahap akhir merampungkan album ketiganya. Mereka pun menjagokan single 'Lubang di Hati' yang kini sudah berkumandang di radio-radio. Lagu tersebut ciptaan Noe sang vokalis dan Cornel, additional gitar Letto.

"Alhamdulillah rekaman dan mixing kelar dan mulai masuk mastering. Hits pertamanya udah yaitu 'Lubang di Hati'," ujar Dhedot sang drummer kepada detikhot via ponselnya.

Pelantun hits 'Permintaan Hati' itu mulai menggarap album ketiganya setelah 'Don't Make Me Sad' sejak September lalu. Namun tak hanya konsen di studio, kegiatan pentas pun masih berjalan.

"Full rekaman semua di Yogyakarta. Mixingnya ada yang di Yogyakarta ada juga di Jakarta. Masih ada jadwal manggung juga. Kalau menurutku justru enak gitu. Rekamannya jadi santai," jelas Dhedot.

Jika tak ada aral melintang, rencananya album yang diberi tajuk 'Lethologica' itu akan dirilis Januari 2009. Dalam album ini Letto mengikutsertakan 12 track baru yang tiga di antaranya berbahasa Inggris.

Detik.Com

Lethologica Yang Sarat Cinta

Para penggemar Letto akan mendapat kado Tahun Baru berupa album baru. Karya terbaru grup band Jogja itu diberi tajuk Lethologica. Album ini tak jauh berbeda dari album sebelumnya, yakni Ruang Rindu dan Sandaran Hati. Khas Letto adalah menyajikan musik yang kental seolah ingin menyejukkan jiwa dengan tema yang mengarah pada ketuhanan, kehidupan sosial dan cinta.

Lagu di album baru, hampir semuanya puitis. Letto juga tetap mempertahankan keunikan dengan memasukkan lagu berbahasa Inggris.

Lethologica berisi 12 lagu, sembilan lagu berbahasa Indonesia dan tiga lainnya menggunakan lirik bahasa Inggris. Proses rekaman dilakukan di salah satu studio di Jogja, Geese. “Proses penggarapan album ini baru sekitar dua-tiga bulan lalu,” ungkap Aldi, Manajer Letto, kemarin.

Single yang dijagokan adalah Lubang di Hati yang kini juga sudah berkumandang di radio Jogja. Lagu tersebut adalah ciptaan Noe, sang vokalis dan Cornel, additional gitar Letto.

Dalam album sebelumnya Dont Make Me Sad, Letto berhasil meraih Platinum Awards dengan penjualan di atas 150.000 copy dalam waktu 3 bulan. Beberapa penghargaan pun telah didapatkan antara lain penghargaan AMI Awards 2008 untuk kategori aktifasi RBT (Ring Back Tone) terbanyak untuk lagu Ruang Rindu dari debut album Truth, Cry, and Lie.

Album pertama Letto juga berhasil meraih penghargaan kategori Album Pendatang Baru pada ajang SCTV Music Award 2007 dan juga telah mendapatkan anugerah sebagai grup musik terbaik di ajang Planet Muzik 2007 di Singapura pada 8 Juni 2007.

Namun pada album ketiga ini, Aldi tak ingin muluk-muluk mengulang kesuksesan dari dua album sebelumnya. “Mengalir saja, kalau responnya bagus dan albumnya laku ya alhamdulillah, tapi kalau tidak ya tak jadi masalah,” imbuh Aldi.

Para personel Letto adalah sahabat dekat sejak SMA, mereka bertemu pertama kali di SMA 7 Yogyakarta. Setelah SMA, mereka sempat berpisah tapi di akhir tahun 1999 mereka berkumpul lagi. Pada 2004 terbentuklah band dengan nama Letto. Grup musik asal kota gudeg ini beranggotakan Noe (Sabrang Mowo Damar Panuluh) sebagai vokal, Patub (Agus Riyono) menempati posisi gitar, Arian (Ari Prastowo) si bassis, dan Dhedot (Dedi Riyono) pada drum.

Letto adalah sebuah nama tanpa arti, sengaja dibuat demikian agar tidak mengarah pada sifat apa pun, tidak asumtif. Tujuannya agar para personel Letto selalu terpacu untuk terus berkarya, berusaha mencari makna Letto dengan semua proses kreatif yang mereka lakukan.

Oleh Angelia Dewi Candra
http://koranjogja.com