Untuk membuat lirik, mereka memilih kata-kata yang menggugah.
Sekitar 12 tahun yang lalu, Patub, Arian, dan Noe adalah teman satu sekolah di SMA 7 Yogyakarta. Arian dan Noe banyak terlibat dalam kegiatan kesenian seperti teater dan pantomim. ''Bahkan, saat itu saya belum kepikiran untuk main band,'' kata Sabrang Mowo Damar Panuluh atau cukup disapa Noe.
Belakangan, mereka mengejar mimpinya masing-masing. Noe malah terbang ke Kanada untuk melanjutkan pendidikannya di bidang Matematika dan Fisika. Sementara Patub dan Aris bertemu kembali pada tahun 1999. Saat itu lokasi tempatnya nongkrong di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta, akan diubah menjadi sebuah studio musik. Mereka kemudian diminta untuk mengerjakannya. ''>Pokoke waktu itu bagaimanapun caranya harus jadi studio dan bukan tempat penyimpanan sepatu,'' ujar Patub berkelakar.
Meski terpisah oleh jarak, dalam pengelolaan studio baru itu, Patubmasih sering berkomunikasi dengan Noe melalui dunia maya. Mereka banyak berdiskusi tentang sound engineering dan berbagai hal tentang audio. Sesekali Noe mengirimkan buku yang berkaitan dengan hal itu. Mulai saat itu juga mereka mulai belajar mengolah suara dengan komputer. ''Wah, dari yang dulu cuma bisa on off aja, sekarang sudah bisa bongkar, tapi nggak bisa masang,'' ujar Patub yang langsung mengundang gelak tawa rekan-rekannya yang lain saat berbincang dengan Republika di salah satu pojok ruangan Musica Studio, tempat mereka bernaung.
Dari sekadar belajar, mereka pun mencoba membuat dan mengolah lagu sendiri. ''Daripada merusak lagu orang yang lebih baik belajar pakai lagu sendiri,'' kata Patub. Dengan membuat lagu sendiri, mereka lebih bebas untuk mengatur komposisinya karena hanya akan dikonsumsi pribadi. Saat itu mereka hanya ingin belajar dan belum terpikir untuk membuat band. Sekitar empat lagu berhasil mereka ciptakan, yang salah satunya berjudul Sebenarnya Cinta. Lagu-lagu buatan sendiri itu kemudian diminta oleh teman-teman nongkrong mereka yang memutarnya untuk didengarkan bersama-sama di berbagai tempat.
Lagu-lagu yang disebarkan oleh teman-teman mereka itu akhirnya sampai ke salah satu perusahaan rekaman di Jakarta, Musica Studio. Perusahaan itu pun menawarkan rekaman pada pria-pria yang haus belajar tentang musik ini. Akan tetapi, untuk memasuki jenjang itu, mereka harus mempunyai identitas sebagai sebuah kelompok. Akhirnya, seiring dengan kepulangan Noe dari Kanada, pada tahun 2004 grup band bernama Letto pun muncul dengan formasi Noe sebagai vokalis, Patub (Agus Riyono) memainkan gitar, dan Arian (Ari Prastowo) yang memegang bass. Sedangkan Dhedot (Dedi Riyono) yang didapuk sebagai drummer masuk belakangan.
Mereka pun mengambil nama Letto secara spontan. Kata itu sendiri tidak akan ditemukan maknanya di berbagai kamus. Mereka sengaja mencari sebuah kata tanpa arti dan tidak merujuk pada apa pun. Makna kata Letto adalah perwujudan dari grup band yang mereka bentuk itu. ''Maksudnya, arti kata itu akan diisi dengan apa yang telah kita lakukan, dengan perjalanan serta proses kreatif kita,'' ujar Patub.
Talang air
Lirik-lirik Letto yang puitis yang bermakna dalam boleh dibilang membuatnya berbeda dengan grup band kebanyakan. Meski begitu, Noe tidak ingin mendefinisikan Letto sebagai grup band dengan lagu-lagu puitis. ''Tentang definisi lirik puitis saja sampai sekarang kita tidak tahu. Pelabelan itu datang bukan dari kita, tapi dari pendengar atau orang yang memberikan komentar. Kita tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa kita itu puitis,'' ungkapnya.
Tentang inspirasinya dalam membuat lirik-lirik yang dinilai puitis itu, Noe kemudian bercerita tentang prosesnya dalam membuat lirik. Dia sebagai penulis lirik lebih senang dianalogikan sebagai talang air. ''Kalau inspirasi itu seperti hujan dari langit, kita hanya menangkap air itu kemudian mengalirkannya seperti sebuah talang,'' ujarnya.
Dia tidak akan menggunakan kata-kata aneh dalam liriknya. Agar dimengerti, kata-kata sehari-harilah yang menjadi pilihannya. Baginya, yang terpenting adalah pemilihan kata yang menggugah untuk lirik itu. Sebuah kata dipilih karena dinilai mampu mewakili pesan yang hendak dia sampaikan. Sebuah kata yang bisa menunjukkan nuansa yang ingin dia ungkap serta sayap-sayap yang ingin dia kembangkan.
Sayap-sayap itu merupakan makna-makna tersembunyi yang sengaja dihadirkan dalam setiap larik. Noe kemudian memberikan contoh seperti lagu mereka Sandaran Hati yang awalnya orang mengira lagu ini tentang cinta. Namun, beberapa bulan kemudian, mereka memahami maknanya yang tentang Ketuhanan. Atau, lagu Sebelum Cahaya yang setelah delapan bulan sejak peluncurannya baru dimengerti bahwa lagu itu tentang shalat malam. ''Kita memang ingin lagu itu tidak dipandang dari satu sisi saja. Lagu itu bagus kalau bisa diambil maknanya bagi yang mendengar atau membaca,'' ujar Noe.
Republika, Sabtu, 07 Februari 2009
LETTO on Facebook
Saturday, February 07, 2009
Sayap-Sayap Letto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
aku merupakan peminat lagu-lagu Letto dari Malaysia..
Post a Comment