LETTO on Facebook

Sebelum Cahaya (Video Clip)

Friday, June 15, 2007

Berselancar dengan Lirik-lirik Puitis: Sehari Bersama Noe Letto

Ia membidani, memotori, dan menulis lirik lagu-lagu Letto. Pusing bila tak berselancar di Internet.

Rumah Noe Letto, Yogyakarta, Pukul 06.00
Pagi itu Noe bangun agak terlambat. Biasanya vokalis grup musik Letto itu sudah terjaga ketika kokok ayam pertama membangunkan hari di rumahnya. "Aku semalaman lembur di studio," katanya dengan wajah masih kelihatan lelah.

Belum ada kesibukan berarti di rumah bercat oranye di Jalan Wates, Kadipiro, Yogyakarta, itu pada Kamis pagi di pengujung April lalu. Hanya ada seorang lelaki yang tengah sibuk membersihkan teras dan halaman rumah berpagar besi setinggi 2,5 meter berwarna hijau pupus itu.

Di rumah itu Noe tinggal bersama ayahnya, budayawan Emha Ainun Nadjib. Noe, yang bernama lengkap Sabrang Mowo Damar Panuluh, adalah putra Emha dari istri pertamanya, Neneng Suryaningsih. Sejak 1994, Noe--yang melewati masa kecil hingga remaja bersama ibunya di Lampung--tinggal di rumah tersebut.

Rumah dua lantai yang berdiri di atas lahan sekitar 1.500 meter persegi itu terbagi dalam beberapa ruangan. Selain untuk tempat tinggal keluarga Emha-Novia Kolopaking, ruangan lain di lantai dasar rumah itu digunakan sebagai perpustakaan, Geese Studio, dan Sanggar Kiai Kanjeng. Lalu beberapa ruangan di lantai dua dipakai untuk kantor Progres, Band1t, dan markas Letto. Yang terakhir, selain sebagai markas, ruangan itu juga tempat tinggal tiga personel Letto lainnya: Ary Prastowo, Dedy Riyono, dan Agus Riyono.

Progres adalah lembaga yang mengurusi segala tetek-bengek kegiatan Emha dan Kiai Kanjeng-nya. Sedangkan Band1t adalah sebuah komunitas yang menghimpun kelompok-kelompok band indie di Yogyakarta. Band1t juga kerap menjadi event organizer pentas musik indie di Kota Gudeg dan sekitarnya. "Pokoke, di rumah ini banyak aktivitas," tutur Noe seraya mengisap rokok kretek filternya.

Sesaat kemudian Noe mengajak Tempo ke Geese Studio. Rencananya, cowok berambut ikal itu akan merampungkan mixing lagu-lagu baru Letto yang semalam belum kelar. Setelah album perdananya, Truth, Cry and Lie, sukses meraih double platinum, CD-nya terjual lebih dari 500 ribu keping, kini Letto tengah mempersiapkan album keduanya. "Mungkin pertengahan tahun ini bakal diluncurkan," Noe menjelaskan.

Ya, hari-hari Noe belakangan memang tersita untuk mempersiapkan album kedua band yang dimotorinya itu. Hari itu, misalnya, Noe dan anggota Letto lainnya akan menghabiskan waktu seharian penuh berkutat dengan proses pembuatan album keduanya. "Hari ini kami juga akan latihan untuk persiapan konser ke sejumlah kota di Jawa Timur dan Bali."

Setiba di Geese Studio, Noe langsung menyalakan komputer. Ternyata komputernya ngadat. Meski sudah bolak-balik di-restart, tetap saja tak bisa beroperasi. Ia berteriak meminta tolong kru bandnya agar memperbaikinya. Noe kemudian kembali ke kamarnya. Tak lama berselang, ia muncul lagi dan berjalan menuju markas Letto. Di markas seluas 4 x 4 meter yang bersebelahan dengan kantor Progres itu ia menghabiskan paginya dengan berselancar di Internet.

Geese Studio, Pukul 08.00
Di sela-sela mixing sejumlah lagu baru Letto, Noe menyempatkan bertukar cerita. Ia berkisah tentang proses kelahiran band yang dibidaninya itu. Noe, Ary, dan Agus bertemu pertama kali di Sekolah Menengah Atas 7 Yogyakarta. Mereka mulai berkesenian, dari teater, musik kontemporer dan gamelan, bikin skenario film, hingga membuat desain sampul kaset.

Mereka biasa berkumpul di Geese Studio milik Emha. Mereka belajar mengelola dan memakai studio itu. Jadi, jauh sebelum Letto terbentuk, mereka sebetulnya telah ngenger di studio Cak Nun, sapaan akrab Emha, itu.

Selepas SMA, karena kuliah dan kesibukan masing-masing, mereka pun berpisah. Noe terbang ke Kanada. Di sana, cowok kelahiran Yogyakarta, 10 Juni 1979, itu kuliah di Jurusan Matematika dan Fisika, Universitas Alberta, Edmonton.

Pada 2003, saat Noe pulang menggondol gelar bachelor of mathematic dan bachelor of physics, mereka kembali berkumpul. Saat itulah Dedy Riyono, penabuh drum, bergabung. Sedikit demi sedikit mereka mencoba bikin lagu dan merekamnya. "Ternyata banyak orang bilang lagunya enak," ujarnya menjelaskan.

Waktu terus bergulir dan Noe kian giat menulis lirik lagu. Setelah jadi, barulah demo lagu itu ditawarkan ke perusahaan rekaman. Pada 2004, ketika ada label yang tertarik, mereka sepakat membentuk grup band. Namanya Letto, yang tak punya arti apa-apa. Menurut Noe, nama itu sebagai identitas belaka.

Toh, nama Letto yang tak berarti apa-apa itu kemudian menjulang ketika debut album Truth, Cry and Lie diluncurkan. Albumnya meledak. Dua lagu di album tersebut, Ruang Rindu dan Sandaran Hati, menjadi masyhur terutama setelah didaulat sebagai soundtrack sinetron Intan serta Wulan--keduanya ditayangkan RCTI saban hari.

Boleh dibilang, kekuatan lagu-lagu Letto terletak pada lirik-liriknya yang puitis. Bahkan di beberapa bagian terdengar kontemplatif. Menurut Noe, ide semua lagu yang ditulisnya di album perdana itu bisa dari mana saja, termasuk pengalaman batin sendiri. Sedikit pun tak ada campur tangan ayahnya, yang seorang pujangga dan budayawan. "Saya juga tak pernah mengkonsultasikan lagu-lagu yang dibuat itu kepada orang tua saya," cowok yang ketika kecil bercita-cita menjadi tukang pos itu menerangkan.

Halaman Rumah Noe, Pukul 10.15
Seusai mixing dua lagu barunya, Noe kemudian bersiap menggelar latihan untuk konser di sejumlah kota. Noe, Ary, Agus alias Patub, dibantu beberapa kru Letto, bahu-membahu mengusung peralatan musik dari Geese Studio ke halaman rumah. Untuk menghindari hujan, di halaman itu telah pula dipasang terob dari terpal sebagai penutupnya.

Karena penabuh drum, Dedy Riyono, belum datang, rencana latihan yang telah dijadwalkan pun terlambat sekitar 15 menit. Menurut Noe, semalam Dedy memang tak tidur di markas Letto. Ia begadang hingga pagi menjelang di angkringan Pak Mbut di bilangan Bausasran, dekat Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.

Langit di atas Kadipiro agak mendung ketika latihan akhirnya dimulai. Pukulan drum yang berdentam-dentam, lengkingan gitar Agus, dan vokal Noe yang keras mengundang warga sekitar merubung. Mereka umumnya anak-anak dan remaja. Setiap jeda lagu, ketika Noe mengelap cucuran keringatnya, sejumlah remaja putri sigap mendekat dan memotret sang vokalis dengan kamera telepon selulernya.

Setelah sekitar dua jam latihan digelar, personel Letto memutuskan rehat. Tak lama berselang, seorang kru datang membawa 17 bungkus gado-gado dan lotek yang dibeli di warung Bu Yati, sekitar dua kilometer dari arena latihan. Personel dan kru Letto kemudian makan siang bareng.

Dan acara makan siang terasa meriah karena sejumlah penonton yang kebagian gado-gado atau lotek juga ikut nimbrung. Cak Nun dan Novia, yang duduk sekitar lima meter dari arena latihan, sesekali melempar senyum kepada anaknya yang kian dewasa.

Seusai makan dan kemudian salat zuhur, latihan kembali digelar. Tapi latihan babak kedua itu tak berlangsung lama. Pukul 14.20 mereka menghentikan latihan karena dua orang utusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang menemui Cak Nun. Menurut Noe, mereka tak mau mengganggu utusan yang membawa pesan khusus agar ayahnya menemui Yudhoyono di Istana Gedung Agung, Yogyakarta, sekitar pukul 22.00 tersebut.

Para personel Letto kemudian duduk-duduk santai sambil merokok di Sanggar Kiai Kanjeng. Setelah mengisap rokoknya beberapa kali, Noe kembali bertukar cerita, dari soal musik, ekonomi, teknologi informasi, fisika, hingga filsafat. Dan cowok bookaholic itu begitu lancar ketika menuturkannya.

Memang, selain ngeband, Noe juga kerap diundang sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi di sejumlah kampus. Khususnya yang membicarakan seputar musik, teknologi informasi, dan filsafat. Malahan, Cak Nun juga sering menugasi anaknya melakukan riset tentang berbagai hal.

Cak Nun, yang kemudian nimbrung ngobrol, menyatakan, di matanya, Sabrang--begitu ia menyapa sang anak--lebih sebagai seorang peneliti ketimbang musisi. Kendati demikian, Cak Nun beberapa kali mempercayai Noe memimpin pementasan Kiai Kanjeng. Misalnya, saat kelompok kesenian itu mengadakan tur ke Australia dan London beberapa waktu lalu.

Lebih jauh, Cak Nun juga heran dengan talenta bermusik anaknya. Sebab, selama Noe tinggal bersamanya, ia tak pernah melihat anaknya itu berlatih musik, apalagi kemudian memimpin sebuah grup band. "Saya tidak pernah menyuruh Sabrang harus begini atau begitu," katanya. "Sabrang adalah manusia merdeka sama seperti saya dan yang lain."

Lima belas menit menjelang magrib, perbincangan kami berakhir. Setelah mandi dan makan malam, Letto kembali menggelar latihan hingga dua jam. Malam itu, meski kelelahan mendera semua personel Letto, mereka tampak puas. Sebab, mereka berhasil membuat komposisi musik baru yang lebih energetik untuk dipentaskan di sejumlah kota di Jawa Timur dan Bali awal Mei lalu.

Markas Letto, Pukul 21.00
Seusai latihan, personel Letto dibantu para krunya merapikan peralatan musik. Mereka kemudian memasukannya kembali ke Geese Studio. Noe, yang senantiasa mencangklong tas kecil warna hitam, terlihat mengeluarkan sebatang rokok kretek filternya. Ia menyulut dan mengisapnya dengan satu tarikan.

Meski kelelahan membayang di wajahnya, Noe masih terlihat bersemangat. Sesekali ia memberikan instruksi kepada anggota Letto lainnya dan para kru agar keesokan hari bisa berkumpul kembali di markas lebih pagi.

Beberapa saat kemudian, Noe, yang tak suka menonton televisi, bergegas ke meja komputernya di markas Letto. Tangannya tampak lincah memainkan tetikus, berselancar di jagat maya. "Sehari saja tidak bermain Internet, rasanya pusing sekali," katanya seraya tersenyum.

Sumber : Koran Tempo (13 Mei 2007)

No comments: