Matahari makin condong ke arah barat. Langit tertutup arak-arakan warna hitam. Di ujung lapangan basket milik stasiun RCTI, empat pemuda sedang asyik lengak-lenggok. Puluhan pasang mata hampir tak berkedip merekam kejadian demi kejadian. Beberapa fotografer juga tak mau kalah berpacu mengabadikan pose-pose empat pria tersebut dalam frame kameranya. Merekalah para personil Letto, grup band asal Jogja yang beranggotakan Noe (Vokal, kibor), Patub (Gitar), Araimn (Bas) dan Dedy (Drum, Perkusi).
Apalah arti sebuah nama. Kalimat itu mungkin paling pas untuk menggambarkan grup band Letto yang mulai merangkul hati pecinta musik tanah air ini. Menurut mereka, pemilihan nama untuk grup hanya kebutuhan identitas. Karena itu mereka memilih nama yang simple dan tak perlu yang susah-susah. "Pas bangun tidur, tiba2 kok ketemu nama Letto, Persisnya April 2004," tukas Noe sang vokalis.
Awal terbentuknya vokalis Letto menurutnya bermula dari pertemanan antara Noe, Patub dan Arian yang ketiganya merupakan satu sekolahan di SMA 7 Jogja dan lulus tahun 1997. Sedangkan Dedy baru menyusul kemudian karena kebetulan dia adik kandung Patub.
Magnet perkawanan empat pemuda itu semakin mengental saat diserahi mengelola studio recording Geese di Yogyakarta. Di studio itu mereka bergelut dengan musik hingga mereka paham sekali proses mixing, mastering dan memproduksi musik.
Sebelum bermain band, mereka sebetulnya lebih akrab dengan musik-musik tradisional. lantas Musica kemudian menawari mereka untuk membuat album sendiri. "Setelah mendapat tawaran dari Musica, kit akaget, bersyukur, buat band dan baru buat nama." ujar Patub. Jarak antara masuk kompilasi Pilih 2004 dengan album Letto kurang lebih satu tahun. Waktu satu tahun itu dimanfaatkan personil Letto untuk mengumpulkan materi-materi lagu. "Kebetulan anak-anak Letto memang suka berkutat dengan musik. Makanya sudah punya bayangan sehingga mempermudah mengumpulkan materi," sambar Arian.
Sebetulnya mereka berangkat dari latar belakang musik yang berbeda-beda. Arian suka dengan Punk dan Jazz, Dedy memilih model musik anak muda jaman sekarang Top Forty, Alternative. patub suka musik tahun 70-an. Sedang Noe sendiri lebih patuh pada ilustrasi musik New Age, instrumental. Makanya personil Letto menyepakati konsep musik yang demokratis dan tak ada yang menganggap dirinya dominan. "Kita satu sama lain tidak mau memaksakan karakter musik masing-masing. Semuanya diberikan ruang kreasi," ujar Dedy.
Untuk penggarapan lagu, mereka tak perlu jauh-jauh menyepi ke gunung. Cukup mengambil realita kehidupan sehari-hari sudah sangat banyak untuk bisa ditulis dan bisa jadi sesuatu. "Memang dalam prosesnya, ada yang liriknya dulu, lalu konsep lagunya dulu. namun ada juga yang jalan bareng." jelas sang vokalis.
Untuk aransemen, mereka mengerjakan bersama-sama. Tak heran jika masing-masing membawa pengaruh dalam setiap lagu. Tak semuanya bukan asal bunyi. Apalagi didukung dengan vokal Noe yang melankolis tapi tidak cengeng. "Dasarnya melakukan semua ini karena kita bertanggung jawab terhadap kesempatan yang terbuka. Waktu itu niat untuk bermain musik memang menggebu, tapi belum ada bayangan untuk masuk industri," celetuk Patub.
Separuh album Letto memang berbahasa Inggris. Namun mereka menegaskan kalau ini sebenarnya bukan gaya-gayaan. "Ini adalah kreativitas jujur yang mengalir," tukas Noe. bahkan dalam musik mereka, terselip khasanah etnik yang dikawinkan dengan permainan instrumentmodern. Hasilnya sebuah karakter musik yang beda, namun tetap enak untuk dinikmati. "Kita tak membuat perbedaan, tapi membiarkan perbedaan itu muncul. Karena pada dasarnya setiap manusia beda," lanjut Noe.
Jika menyimak lagu Sampai Mati, Sampai Nanti yang menjadi single pertama album Letto, lagiu itu bertutur tentang sikap optimistis menghadapi hidup. Walau begitu, mereka tidak mau menjadi pengkhotbah. Lirik-lirik puitis dalam lagu Sandaran hati, U&I, Insensitivr dan No One Talk About Love bergaya puitis. Semua digarap oleh Noe. "Kami anak ndeso. Tidak pernah berfikir yang muluk-muluk. Semua mengalir dengan kata bathin," katanya.
(Sumber: Genie)
Apalah arti sebuah nama. Kalimat itu mungkin paling pas untuk menggambarkan grup band Letto yang mulai merangkul hati pecinta musik tanah air ini. Menurut mereka, pemilihan nama untuk grup hanya kebutuhan identitas. Karena itu mereka memilih nama yang simple dan tak perlu yang susah-susah. "Pas bangun tidur, tiba2 kok ketemu nama Letto, Persisnya April 2004," tukas Noe sang vokalis.
Awal terbentuknya vokalis Letto menurutnya bermula dari pertemanan antara Noe, Patub dan Arian yang ketiganya merupakan satu sekolahan di SMA 7 Jogja dan lulus tahun 1997. Sedangkan Dedy baru menyusul kemudian karena kebetulan dia adik kandung Patub.
Magnet perkawanan empat pemuda itu semakin mengental saat diserahi mengelola studio recording Geese di Yogyakarta. Di studio itu mereka bergelut dengan musik hingga mereka paham sekali proses mixing, mastering dan memproduksi musik.
Sebelum bermain band, mereka sebetulnya lebih akrab dengan musik-musik tradisional. lantas Musica kemudian menawari mereka untuk membuat album sendiri. "Setelah mendapat tawaran dari Musica, kit akaget, bersyukur, buat band dan baru buat nama." ujar Patub. Jarak antara masuk kompilasi Pilih 2004 dengan album Letto kurang lebih satu tahun. Waktu satu tahun itu dimanfaatkan personil Letto untuk mengumpulkan materi-materi lagu. "Kebetulan anak-anak Letto memang suka berkutat dengan musik. Makanya sudah punya bayangan sehingga mempermudah mengumpulkan materi," sambar Arian.
Sebetulnya mereka berangkat dari latar belakang musik yang berbeda-beda. Arian suka dengan Punk dan Jazz, Dedy memilih model musik anak muda jaman sekarang Top Forty, Alternative. patub suka musik tahun 70-an. Sedang Noe sendiri lebih patuh pada ilustrasi musik New Age, instrumental. Makanya personil Letto menyepakati konsep musik yang demokratis dan tak ada yang menganggap dirinya dominan. "Kita satu sama lain tidak mau memaksakan karakter musik masing-masing. Semuanya diberikan ruang kreasi," ujar Dedy.
Untuk penggarapan lagu, mereka tak perlu jauh-jauh menyepi ke gunung. Cukup mengambil realita kehidupan sehari-hari sudah sangat banyak untuk bisa ditulis dan bisa jadi sesuatu. "Memang dalam prosesnya, ada yang liriknya dulu, lalu konsep lagunya dulu. namun ada juga yang jalan bareng." jelas sang vokalis.
Untuk aransemen, mereka mengerjakan bersama-sama. Tak heran jika masing-masing membawa pengaruh dalam setiap lagu. Tak semuanya bukan asal bunyi. Apalagi didukung dengan vokal Noe yang melankolis tapi tidak cengeng. "Dasarnya melakukan semua ini karena kita bertanggung jawab terhadap kesempatan yang terbuka. Waktu itu niat untuk bermain musik memang menggebu, tapi belum ada bayangan untuk masuk industri," celetuk Patub.
Separuh album Letto memang berbahasa Inggris. Namun mereka menegaskan kalau ini sebenarnya bukan gaya-gayaan. "Ini adalah kreativitas jujur yang mengalir," tukas Noe. bahkan dalam musik mereka, terselip khasanah etnik yang dikawinkan dengan permainan instrumentmodern. Hasilnya sebuah karakter musik yang beda, namun tetap enak untuk dinikmati. "Kita tak membuat perbedaan, tapi membiarkan perbedaan itu muncul. Karena pada dasarnya setiap manusia beda," lanjut Noe.
Jika menyimak lagu Sampai Mati, Sampai Nanti yang menjadi single pertama album Letto, lagiu itu bertutur tentang sikap optimistis menghadapi hidup. Walau begitu, mereka tidak mau menjadi pengkhotbah. Lirik-lirik puitis dalam lagu Sandaran hati, U&I, Insensitivr dan No One Talk About Love bergaya puitis. Semua digarap oleh Noe. "Kami anak ndeso. Tidak pernah berfikir yang muluk-muluk. Semua mengalir dengan kata bathin," katanya.
(Sumber: Genie)
No comments:
Post a Comment