LETTO on Facebook

Sebelum Cahaya (Video Clip)

Thursday, March 30, 2006

Bunyi Slendro dan Pelog di Antara Lirik Inggris

Apalah arti sebuah nama? Falsafah itu dianut Letto, grup musik asal Yogyakarta. Nama tersebut tidak ada hubungan dengan Leto, istri Zeus dan ibu dari Apolo dan Artemis dalam mitologi Yunani. Bagi Noe (vokal, kibor), Patub (gitar), Arian (bas) dan Dedi (drum, perkusi), nama itu untuk identitas semata.

Hal yang terpenting adalah bagaimana mereka memberi sesuatu yang berarti di blantika musik Indonesia. Arti itu yang coba disampaikan lewat album debut Truth, Cry and Lie. Bukan sekadar tren dan gaya jika separuh dari isi album ini merupakan lagu-lagu berlirik bahasa Inggris. ''Ini adalah proses kreativitas yang mengalir jujur,'' ungkap Noe, saat ditemui Suara Merdeka di Musica Studio's kemarin.

Bahkan, dalam musik mereka terselip khasanah etnik yang menghadirkan corak slendro dan pelog dalam permainan instrumen modern. Hasilnya adalah karakter musik yang berbeda, namun tetap asyik dinikmati.

Simak saja lagu ''Sampai Nanti'' yang menjadi single pertama album ini. Lagu itu bertutur tentang sikap optimis menghadapi hidup. Liriknya sarat dengan pesan positif, tapi bukan kotbah. Sebab, gaya penyampaiannya tetap dalam tutur puitis. Tidak saja bicara tentang hidup, Tapi juga cinta, patah hati, persahabatan bahkan tentang Tuhan.

Demikian pula lagu ''Sandaran Hati'' yang liriknya jika disimak lebih jauh tidak saja berbicara tentang seorang kekasih, tapi juga sahabat bahkan Yang Maha Kuasa. Tak jauh beda dengan lagu ''I'll Find A Way'' yang percaya selalu ada jalan untuk menggapai angan. Lirik puitis tersebut, termasuk yang berbahasa Inggris, seluruhnya ditangani oleh Noe.

Pengalaman Pribadi

Menurut dia, inspirasi lirik itu mengalir secara spontan dan alami. ''Kami ini anak desa, tidak pernah berpikir yang muluk-muluk. Semua mengalir sesuai dengan kata batin,'' jelasnya.

Dia mengakui sebagian besar lagu-lagunya terinspirasi dari pengalaman pribadi. Sedangkan aransemen musiknya dikerjakan bersama-sama. Tak heran jika masing-masing memberi pengaruh dalam setiap lagu. Alhasil akan terasa sedikit ramuan dari rock ala Led Zeppelin, J-rock ala Kitaro, dan punk rock. Ramuan unik itu setelah berpadu terasa easy listening. Ditambah karakter vokal Noe yang melankolis namun tidak cengeng.

Konsep ''beda'' ini yang membuat Musica Studio's tertarik. Awalnya Letto diperkenalkan dalam album kompilasi Pilih 2004 lewat single ''I'll Find A Way''. ''Mereka menawarkan musik yang beda dari yang selama ini pernah ada di Musica,'' tutur Anasthasia Sadrach dari Musica Studio's.

Letto berawal dari sekumpulan pemuda yang pernah sama-sama duduk di bangku salah satu SMA di Yogyakarta. Saat itu, tidak pernah terbayangkan bila suatu saat mereka akan mencari modal kawin dari menjual lagu. Maklum, mereka memilih bercengkerama dalam sebuah kelompok teater dengan pertimbangan bahwa belajar teater jauh lebih murah ketimbang dugem atau narkoba. Proses berteater ini kemudian memberi pengaruh dalam karya musik mereka.

Uniknya, mereka tumbuh di lingkungan gamelan tapi mengidolakan grup Queen, Yanni dan Led Zeppelin. Karena itu, mereka ingin memainkan ''Bohemian Rhapsody'' dengan slendro atau pelog. Maka, proses kreatuf yang telah mereka lagukan menghasilkan sebuah konsep musik puitis.

''Banyak ekspresi yang terlihat ketika kami mementaskan hasilnya. Dari yang tersenyum menghargai sampai yang melotot dengan muka pucat. Tapi what ever-lah, that's not the point,'' kata Aldi yang merupakan behind the scene dudez Letto bersama Bedjat Miko. (tn-43)

(Sumber: Suara Merdeka)


1 comment:

Anonymous said...

What a great site
»