LETTO on Facebook

Sebelum Cahaya (Video Clip)

Friday, March 31, 2006

Letto: Hadirkan Slendro & Pelog

MUNCUL lagi satu grup musik asal Yogyakarta setelah Jikustik dan Sheila On 7, Letto. Grup yang diperkuat oleh Noe (vokal, keyboard), Patub (gitar), Arian (bas), dan Dedi (drum, perkusi) mengutamakan kebersamaan dalam memberi sesuatu yang berarti dalam bermusik. Arti itu yang coba disampaikan lewat album "Truth, Cry and Lie".

"Hal ini bukan sekadar tren dan gaya berbahasa Inggris jika separuh dari album ini hadir dalam bahasa internasional. Tapi yang jelas, proses kreativitas yang mengalir jujur," ungkap Letto yang diwakili Noe.

Dalam musik mereka pun terselip khazanah etnik yang menghadirkan corak slendro dan pelog dalam permainan instrumen band modern. Hasilnya, sebuah karakter musik yang jauh beda dengan grup lain.

Terutama pada lagu "Sampai Nanti, Sampai Mati" yang menjadi single pertama album ini. Liriknya sarat dengan pesan beraroma positif. Pengerjaan musik yang dibangun bersama-sama tak heran memberi pengaruh dalam setiap karya yang diberikan. Tidak hanya bicara soal hidup, cinta, tetapi juga bicara patah hati, persahabatan, dan bahkan tentang Tuhan.

Letto hadir awalnya melalui album kompilasi "Pilih 2004" lewat single "Ill Find A Way" yang dilepas Musica Studio's. Mereka selalu beda dengan yang lain. Berangkat dari pertemanan sewaktu satu SMA di Yogya. Lalu masuk kegiatan teater dengan pertimbangan jauh lebih murah dari pada dugem dan narkoba. Proses berteater ini kemudian berpengaruh dalam karya-karya Letto. Uniknya, tumbuh di lingkungan gamelan tapi dengan idola Queen, Yanni, atau Led Zeppelin yang "bermasalah". Misalnya dengan berani mereka memainkan "Bohemian Rhapsody" dengan slendro atau pelog. Dengan demikian proses kreativitas itu sungguh kaya sehingga lahirlah "musik puisi" dari Letto. (Mmt)***

(Sumber: Pikiran Rakyat)


Menghadirkan Corak Pelog & Slendro Dalam Format Musik Kekinian.

Caption: Letto terbentuk lantaran personelnya rajin kongko di sebuah studio musik.

Noe, yang putra Emha Ainun Nadjib ini melanjutkan, nama Letto didapatnya tanpa proses yang berbelit-belit. “Impulsif saja. Nama itu saya dapatkan ketika saya bangun tidur. Saya usulkan nama itu dan teman-teman setuju,” beber Noe lagi.

sebuah grup musik -- ­­­­­­­­­­­­­­selain punya personel -- pastilah punya nama. Buat banyak band, nama tak cuma sebagaiidentitas belaka, tapi punya arti dan filosofi tertentu. Grup musik Cokelat misalnya. Band asal Bandung ini memilih nama itu dengan harapan musiknya digemaribanyak orangseperti (makanan) cokelat.Grup musik yang tengah naik daun,Radja, memilih nama itu harapan bisa merajai dunia musiklokal. Samsons -- nama ini terinspirasi dari legenda Samsons -- juga demikian. Samsons kepengin jadi salah satuband paling kuat di negeri ini.

Tapi tak semua band mementingkan arti atau filosofi sebuah nama. Itulah yang dilakukan Noe (vokal, kibor), Patub (gitar), Arian (bas) dan Dedi (dram, perkusi) ketika memilih Letto sebagai nama band. Kalau belum tahu Letto, band ini penembang Sampai Nanti, Sampai Mati dan Sandaran Hati yang kini sedang ramai-ramainya diputar dibanyak radio. Buat band asal Yogyakartaini -- meminjam kalimat legendaris Shakespeare -- apalah arti sebuah nama? “Kami pilih Letto karena nama itu sama sekali nggak ada arti dan filosofiinya. Sengaja begitu biar nggak asumtif. Lagipula buat kami nama itu tak punya fungsi selain sekadar identitas,” ujar Noe.Noe, yang putra Emha Ainun Nadjib ini melanjutkan, nama Letto didapatnya tanpa proses yang berbelit-belit. “Impulsif saja. Nama itu saya dapatkan ketika saya bangun tidur. Saya usulkan nama itu dan teman-teman setuju,” beber Noe lagi.

Letto terbentuk lantaran personelnya rajin kongko di sebuah studio musik. “Kami ini teman satu SMA dan suka main musik. Suatu kali, kami dipercaya mengelola sebuah studio rekaman. Di kala studio sedang sepi, kami suka main musik dan bikin-bikin lagu. Dari studio itu kami belajar tentang audio dan teknik-teknik studio,” seru Arian. Sampai di sini belum ada niat serius bermusik. Niat serius baru muncul setelah didesak teman-teman mereka. “Teman-teman menyarankan kenapa nggak diseriusin saja lagu-lagu yang sudah jadi,” seru Arian lagi.

Entah bagaimana, rekaman lagu mereka sampai ke tangan Noey Java Jive. Noey adalah produser yang melejitkan Peterpan dan beberapa band lainnya. Lantaran tertarik Noey menawarkan mereka ikut album kompilasi Pilih 2004 keluaran perusahaan rekaman Musica Studio’s.Lagu mereka yang masuk di album itu bertajuk I’ll Find Away. Sayang, ketika diluncurkan lagu ini tak begitu populer. Publik tak ngeh dengan keberadaan mereka. Bahkan, sempat muncul pesimisme band ini bakal cepat masuk dapur rekaman. Maklum saja, ketika itu eranya Peterpan yang kebetulan berada satu label dengan Letto.

Nasib berkata lain. Musica meminta mereka membuat full album. “Entah apa alasannya Musica lalu meanawarkankami membuat album,” seru Noe lagi. Kolaborasi Musica dan Letto ini menghasilkan album yang diberi tajuk Truth, Cry and Lie. Album ini berisikan 10 tembang “Truth itu berarti kebenaran. Kebenaran itu titiknya jelasBegitu juga dengan lie. Nah, kalau cry itu saya menyebutnya titik ekstrimitas. Ia berada ditengah-tengah. Cry itu emosi di titik absolut kebenaran dan kesalahan. Kalau orang sedih banget, nangis, kalau senang banget juga nangis. Tiga hal ini yang menjadi tema keseluruhan album ini,” terang Noey berfilosofi. Bukan mengikutitren dan bermaksud gaya-gayaanbilaseparuh dari isi album ini liriknya ditulis dalambahasa Inggris. ''Ini (lirik -red) hasil proses kreativitas yang mengalir jujur,'' ungkap Noe. Semua lirik di album ini ditulis Noe. Sedangkan aransemen musiknya dikerjakan bersama-sama. Kata Noe lagi,sebagian besar lagu-lagunya terinspirasi dari pengalaman pribadi.

Ada yang menarik dari musik yang dimainkanLettoini. Mereka mengemas lagu-lagunya dengan nuansa etnik yang menghadirkan corak pelog dan Slendro a la gamelan Jawa tapi dalam format musik kekinian. Ini hal wajar. Maklummereka tumbuh dalam lingkungan teater yang kuat dengan gamelan Jawa. Alhasil, musik yang dihasilkanberbeda dengan kebanyakan band-band di negeri ini. “Tapi kata orang musik kami masih dikategorikan sebagai musik pop,” guman Patub. Keunikan lainnya pada suara Noe sengau berkarakter mellow yang kuat, namun tak berkesan cengeng. Bisa dibilang, karakter itulah yang menjadi kekuatan lagu-lagu Letto. Meski sering mengaku anak desa Noe punya lafal Inggris yang cukup bagus. Maklum, Noe ternyata pernah beberapa lama tinggal di Kanada.
Singel pertama yang dilepas Letto guna mencuri perhatian berjudul Sampai Nanti, Sampai Mati. Lagu ini simpel, judulnya sedikit nakal. Tempo lagunya medium dengan karakter pop yang jelas. Ada sedikit pengaruh brit-pop yang dominan di lagu ini. Lagu ini bisa dibilang tak lazim. Pasalnya, ada nada-nada pentatonis yang cukup unik.

Lirik Sampai Nanti, Sampai Mati, sangat multi interpretatif -- bisa ditafsirkan sebagai lirik cinta, patah hati, persahabatan bahkan tentang Tuhan -- dan sarat dengan pesan positif, tapi bukan mengkotbahi. Singel kedua berjudul Sandaran Hati. Lagu dengan tempo medium ini sangat klop dengan selera kuping penggemar musik lokal.. Satu-satunyakekurangan Letto di album ini adalah sound-nya yang terdengar sederhana.

(Sumber: Bintang Indonesia.com)


Tak Ingin Letoy Sebelum Berkembang

LETTO, bukan letoy! Karena LETTO adalah band Jogjakarta yang menyuguhkan lagu-lagu yang bakal membuat kamu berdiri tegak bukan letoy. Tidak percaya?

Mereka memang bukan band baru. Sebelumnya Noe [vokal/kibor], Patub [gitar], Arian [bass], dan Dedi [drum] sebelumnya pernah masuk di kompilasi Pilih 2004 dengan menyodorkan tembang berbahasa Inggris I'll Find Away yang mendapat sambutan cukup bagus. Kini, mereka diberi kesempatan untuk merilis album utuh yang diberi titel Truth, Cry, and Lie.

Memang, bahasa Inggris menjadi dominan di album yang mengusung sweet-pop ini. Tapi bukan berarti tak menyisakan lagu berbahasa Indonesia. Simak saja single pertamanya yang sudah wara-wiri di radio Sampai Nanti, Sampai Mati. Resiko lagu ini adalah "berduel" dengan lagu-lagu pop yang sudah malang melintang duluan di chart. Tapi ada yang menarik dari lagu-lagu band Jogja ini. Mereka mengemas lagu-lagunya dengan nada pelog dan Slendro ala gamlean jawa tapi dalam kemasan musik kekinian.

Wajar saja tampaknya, karena meski kini ngeband, mereka tumbuh dalam lingkungan teater yang kuat dengan gamelan. Uniknya, mimpi mereka adalah "mengawinkan" nada-nada pentatonik gamelan dengan musik modern. Hasilnya? Ya musik Letto.

Yang rada "aneh" mungkin, ketika kita menyimak satu demi satu single yang ada. Ada campuran hard-rock lawas, tapi dipadu dengan komtemplasi ala Kitaro. Malah ada yang menyebutnya dengan psychedelic. "Apapun sebutannya, kami sudah membuat karya dengan hati. Kami tidak membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tidak penting, dan inilah hasilnya," terang Letto tentang album perdananya ini. Yang jelas, Letto tak ingin letoy sebelum b erkembang tentunya. Begitu? (THS)

(Sumber: RRI Online)


Resensi Album in RRI Online

Maklum saja, tahun itu adalah eranya Peterpan yang kebetulan satu label dengan band asal Jogjakarta ini. Lagian siapa yang aware dengan single LETTO I’ll Find Away. Meski sempat mencuri dengar, tapi lagu tersebut “tak benar-benar” menganggu.

Tapi mungkin kini, kita harus mengubah ‘sinisme’ itu. LETTO akhirnya tetap merilis album utuh yang herannya, sebenarnya lebih bagus dibanding band-band yang sekarang sedang digandrungi. Sayangnya juga, LETTO sendiri ternyata tak “jual diri” sebelumnya. Nggak kaget, kalau musisi-musisi Jogja sendiri “kebingungan” ketika ada band dari daerahnya yang [lagi-lagi] merilis album nasional.

Album perdananya seperti ‘sok-sokan’ lantaran menggunakan judul berbahasa Inggris Truth, Cry and Lie. Sesuatu yang sebenarnya makin biasa di dunia musik Indonesia. Tak cuma itu, separuh lagu dari 10 lagu yang ada, berbahasa Inggris. Hasilnya?

Sebenarnya LETTO termasuk mengejutkan secara materi. Single pertamanya Sampai Nanti, Sampai Mati ternyata bisa menggoda penikmat musik, meski masih ditengah dominasi pop manis lainnya. Lagu ini simpel, judulnya sedikit nakal. Tempo lagunya medium dengan karakter pop yang jelas. Hanya tampaknya pengaruh brit-pop dominan. Lagu ini mengingatkan penulis pada lagu-lagu milik grup Starsailor. Sebenarnya, lagu ini tak lazim. Ada nada-nada pentatonis yang cukup unik. Sebenanrya kalau dikulik lagi, akan lebih menarik. Tapi tampaknya LETTO tak mau terjebak pada pop-etnisitas.

Noe [vokal/kibor], Patub [gitar], Arian [bass], dan Dedi [drum] tampaknya cukup jeli mengemas konsep musiknya. Suara Noe sengau dengan karakter mellow yang cukup kuat. Secara “sembarangan” penulis mendengar karakter Keane Band, Tom Chaplin. Berlebihan? Mungkin saja, tapi karakter itulah yang menjadi kekuatan lagu-lagu LETTO. Coba simak track pembuka Truth, Cry, and Lie. Liriknya sebenarnya psychedelic. Tapi kita akan terkecoh dengan tarikan vokal Noe yang melankolik itu.

Kelebihan lainnya, Noe punya lafal Inggris yang cukup bagus. Meski sering mengaku “anak desa” ternyata Noe cukup lama ngendon di Kanada. Anak Emha Ainun Nadjib ini punya kelabihan vokal yang apik. Single yang tampaknya bakal mengharubiru adalah Sandaran Hati. Bakal single ke-2 ini punya intro yang langsung membuka warna vokal Noe. Masih tetap dengan tempo medium, lagu ini cocok dengan “kuping” Indonesia.

Sayangnya, semua kelebihan itu tidak langsung ditingkahi dengan sound yang apik. Kekurangan album ini adalah sound yang terlalu “sederhana”. Seandainya bisa lebih megah, kamu bisa tertipu mengira LETTO band britpop dari negeri seberang. Kelemahan lain yang perlu segera dibenahi, LETTO harus berani bermain-main dengan lirik yang sedikit nakal. 10 lagu nyaris seragam. Entah, kalau mereka memang memposisikan diri sebagai band “pengharubiru” saja. Kalau itu pilihan mereka, sayang sekali. Band ini punya potensi lebih.

(Sumber: RRI Online)


Truth, Cry and Lie

Pasca kesuksesan Sheila On 7 yang mahadasyat, sepertinya tidak lama lagi, Jogja bakal melahirkan musisi yang mungkin menggebrak blantika musik Indonesia.

There was LETTO. Gwe mungkin bukan seorang pecinta musik Indonesia, apalagi musik-musik mewek aduuuhhh, sepertinya not in my list. Tapi, kali ini gwe sangat jatuh cinta dengan grup musik yang berada di bawah bendera Musica Studios.

Lewat album pertamanya TRUTH,CRY and LIE, sepertinya LETTO bakal membawa pendengarnya untuk sekedar santai sejenak dan menikmati alunan musik yang gwe yakin punya warna lain dari kebanyakan musik Indonesia saat ini. Lirik-lirik lagu yang ditawarkan Letto pun bukan lirik berat yang mesti bikin kita mengusap air mata berkali-kali kalo dengerin lagu ini.

Truth,Cry and Lie termasuk salah satu lagu favorit gwe. Pertama kali denger lagu ini, gwe langsung jatuh cinta. Mungkin karena influence Kings Of Convience di lagu ini terdengar cukup kental terutama di intro lagu. Masuk di refren, kerasa banget kalo sepertinya sang musisi mengidolakan Arkarna. Beat lagu ini secara keselurahan memang lebih banyak terkena pengaruh Arkarna. Pastinya, lirik lagu berbahasa asing di lagu ini memang terdengar sangat asyik.

Mengamati Sampai Mati Sampai Nanti, kita akan dibawa pada sebuah cerita tentang kehidupan universal. Masih sama, beat yang dimainkan Letto tidak terlalu banyak membawa ornamen keramaian alat musik apalagi dengan efek-efek yang kadang membuat kuping sedikit risih. Tapi, lagu ini bisa dibilang masih sangat perawan. Liriknya punya kekuatan menemani. Seakan-akan sang penyanyi ingin berbicara dengan pendengarnya tentang sesuatu bernama suasana hati. Komposisi yang sangat pas, manis dan renyah.

I'll find away, very romantic song. Masih mengandalkan bahasa Inggris untuk liriknya, lagu ini sepertinya cocok buat cowok-cowok yang hoby banget ngegombal.

Hmmm...that's nice album....:)

Thursday, March 30, 2006

Bunyi Slendro dan Pelog di Antara Lirik Inggris

Apalah arti sebuah nama? Falsafah itu dianut Letto, grup musik asal Yogyakarta. Nama tersebut tidak ada hubungan dengan Leto, istri Zeus dan ibu dari Apolo dan Artemis dalam mitologi Yunani. Bagi Noe (vokal, kibor), Patub (gitar), Arian (bas) dan Dedi (drum, perkusi), nama itu untuk identitas semata.

Hal yang terpenting adalah bagaimana mereka memberi sesuatu yang berarti di blantika musik Indonesia. Arti itu yang coba disampaikan lewat album debut Truth, Cry and Lie. Bukan sekadar tren dan gaya jika separuh dari isi album ini merupakan lagu-lagu berlirik bahasa Inggris. ''Ini adalah proses kreativitas yang mengalir jujur,'' ungkap Noe, saat ditemui Suara Merdeka di Musica Studio's kemarin.

Bahkan, dalam musik mereka terselip khasanah etnik yang menghadirkan corak slendro dan pelog dalam permainan instrumen modern. Hasilnya adalah karakter musik yang berbeda, namun tetap asyik dinikmati.

Simak saja lagu ''Sampai Nanti'' yang menjadi single pertama album ini. Lagu itu bertutur tentang sikap optimis menghadapi hidup. Liriknya sarat dengan pesan positif, tapi bukan kotbah. Sebab, gaya penyampaiannya tetap dalam tutur puitis. Tidak saja bicara tentang hidup, Tapi juga cinta, patah hati, persahabatan bahkan tentang Tuhan.

Demikian pula lagu ''Sandaran Hati'' yang liriknya jika disimak lebih jauh tidak saja berbicara tentang seorang kekasih, tapi juga sahabat bahkan Yang Maha Kuasa. Tak jauh beda dengan lagu ''I'll Find A Way'' yang percaya selalu ada jalan untuk menggapai angan. Lirik puitis tersebut, termasuk yang berbahasa Inggris, seluruhnya ditangani oleh Noe.

Pengalaman Pribadi

Menurut dia, inspirasi lirik itu mengalir secara spontan dan alami. ''Kami ini anak desa, tidak pernah berpikir yang muluk-muluk. Semua mengalir sesuai dengan kata batin,'' jelasnya.

Dia mengakui sebagian besar lagu-lagunya terinspirasi dari pengalaman pribadi. Sedangkan aransemen musiknya dikerjakan bersama-sama. Tak heran jika masing-masing memberi pengaruh dalam setiap lagu. Alhasil akan terasa sedikit ramuan dari rock ala Led Zeppelin, J-rock ala Kitaro, dan punk rock. Ramuan unik itu setelah berpadu terasa easy listening. Ditambah karakter vokal Noe yang melankolis namun tidak cengeng.

Konsep ''beda'' ini yang membuat Musica Studio's tertarik. Awalnya Letto diperkenalkan dalam album kompilasi Pilih 2004 lewat single ''I'll Find A Way''. ''Mereka menawarkan musik yang beda dari yang selama ini pernah ada di Musica,'' tutur Anasthasia Sadrach dari Musica Studio's.

Letto berawal dari sekumpulan pemuda yang pernah sama-sama duduk di bangku salah satu SMA di Yogyakarta. Saat itu, tidak pernah terbayangkan bila suatu saat mereka akan mencari modal kawin dari menjual lagu. Maklum, mereka memilih bercengkerama dalam sebuah kelompok teater dengan pertimbangan bahwa belajar teater jauh lebih murah ketimbang dugem atau narkoba. Proses berteater ini kemudian memberi pengaruh dalam karya musik mereka.

Uniknya, mereka tumbuh di lingkungan gamelan tapi mengidolakan grup Queen, Yanni dan Led Zeppelin. Karena itu, mereka ingin memainkan ''Bohemian Rhapsody'' dengan slendro atau pelog. Maka, proses kreatuf yang telah mereka lagukan menghasilkan sebuah konsep musik puitis.

''Banyak ekspresi yang terlihat ketika kami mementaskan hasilnya. Dari yang tersenyum menghargai sampai yang melotot dengan muka pucat. Tapi what ever-lah, that's not the point,'' kata Aldi yang merupakan behind the scene dudez Letto bersama Bedjat Miko. (tn-43)

(Sumber: Suara Merdeka)


Wednesday, March 29, 2006

Lirik Puitis Letto

Awalnya justru berteater.
Ketika kemudian muncul ide membuat sebuah grup band bernama Letto, para awaknya memutuskan untuk mengalir saja mengikuti irama zaman.
Ini sebuah band kecelakaan, kata mereka.
Dalam kurun waktu dua tahun sejak terbentuknya pada tahun 2004, grup band asal Yogyakarta ini sudah merekamkan sepuluh dari 29 lagu yang mereka cipta di dalam album Truth, Cry, and Lie produksi Musica Studio’s.


Ke depan, awak grup ini—Noe (vokal, kibor, synth, piano), Arian (bas), Agus Patub (gitar), dan Dedi (drum, perkusi)—tidak memiliki target apa pun.
Mereka hanya berharap, lagu dan musiknya bisa diterima masyarakat.
Letto tidak berarti apa-apa. What’s in a name, ungkapan yang pernah ditorehkan William Shakespeare dalam naskah dramanya Romeo and Juliet itu menginspirasi Noe dan kawan-kawan untuk mencari nama yang tidak punya makna.

Kata mereka, Letto tak ada kaitannya dengan Leto, istri Zeus dan ibu dari Apollo serta Artemis dalam mitologi Yunani.
Letto ya Letto, nama untuk identitas saja.

Jika dibilang band kecelakaan, barangkali ada benarnya.
Noe yang bernama asli Sabrang Mowo Damar Panuluh dan putra budayawan Emha Ainun Nadjib sejak SMA bersahabat dengan Arian dan Patub yang juga lahir dan besar di lingkungan yang akrab dengan musik dan gamelan.
Mereka aktif dalam teater dan kerap diminta membantu kelompok Kyai Kanjeng pimpinan Cak Nun ketika grup itu manggung.

Kami membantu mixing atau cek sound. Apa sajalah, pokoknya kami membantu,” kata Arian yang mahasiswa semester akhir Jurusan Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pernah pada satu saat mau latihan, penyanyinya belum datang, maka Noe diminta menyanyi.
Ya sudah, saya nyanyi saja. Mau dibilang suara saya bagus, itu tergantung yang mendengar,” kata Noe yang lulusan Math and Physics University of Alberta ini merendah.
Patub yang lulus Ilmu Tanah UGM juga sama, kerap diminta membantu Kyai Kanjeng.

Ketiganya lalu mulai latihan nge-band di Geese, studio Kyai Kanjeng di Kadipiro Yogyakarta.
Lulus SMA, ketiganya berpisah dan bertemu lagi tahun 2003, saat Noe pulang ke Indonesia.
Dedi, si penabuh drum yang masih semester dua di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta kemudian bergabung.
Dari sanalah mereka mulai intens mengaransemen lagu.
Waktu senggang digunakan untuk mencipta lagu.
Semua liriknya Noe yang buat,” kata Arian.

Proses rekaman Letto cukup singkat. Satu lagu mereka, I’ll Find a Way, pernah tergabung dalam album kompilasi ”Pilih 2004”.
Mengapa kemudian Letto diajak rekaman satu album pada awal 2006 ini, Head of Radio & Print Promotion Musica Studio’s Dewi Rahmayati mengatakan, Letto menawarkan musik yang berbeda dari yang selama ini ada di Musica.
Album Truth, Cry, and Lie (kaset dan CD) kini sudah terjual 35.000 keping. Jadwal manggung Letto pun makin padat.
Tanggal 9-11 maret ini, Letto tampil di Solo, Yogyakarta, dan Semarang dalam acara Class Mild.
Lalu 19 Maret di Wajah Oriental Aneka Yess, 21 Maret di Extravaganza Trans TV, 24 Maret Star on TV di antv, dan masih panjang lagi daftar manggungnya.

Pengaruh musik Kyai Kanjeng sangat kental mewarnai musik Letto, dengan corak slendro dan pelog dalam permainan instrumen modern.
Dengan lagu dan lirik seperti Sandaran Hati, Sebenarnya Cinta, atau Ruang Rindu, pengaruh Kyai Kanjeng itu cukup terasa.
Meski begitu, pengaruh rock juga mewarnai lagu-lagu Letto, mulai dari rock Led Zeppelin, Deep Purple, hingga punk rock.
Warna rock yang cukup kental terdengar pada lagu Truth, Cry, and Lie , Tak Bisa Biasa, No One Talk About Love Tonite, bahkan Insensitive yang sangat slow dan mellow.
Dalam U and I dan I’ll Find a Way bahkan ada sentuhan jazznya.

Noe mengakui, banyak pengaruh yang mewarnai musik Letto.
Sewaktu membuat lagu, mereka belum memikirkan konsep musiknya.
Segalanya dibiarkan mengalir.
Jika ada yang usul diberi unsur rock atau jazz, tinggal dimasukkan saja.
Aliran kami sebenarnya adalah insya Allah pop,” kata Noe sambil tertawa.
Dengan musik gado-gado itu, Letto memang masih belum menemukan ciri khasnya.
Akan tetapi, bisa jadi justru ketiadaan ciri khas itulah yang menjadi kekhasannya dan memang unik. Untuk itu pun, Letto belum mau bertaruh.
Mlaku waelah. Aku malah bingung yen ditakoni konsep opo maneh target. Wong ndeso wae (Jalani sajalah. Aku justru bingung jika ditanya masalah konsep apalagi target. Orang desa saja),” kata Noe, yang diiyakan Arian, Patub, dan Dedi.

Kekuatan Letto sebenarnya justru pada lirik-lirik yang puitis yang disukai anak muda dan di beberapa bagian ”sedikit” kontemplatif.
Dalam Ruang Rindu, misalnya, Di daun yang ikut mengalir lembut/terbawa sungai ke ujung mata/dan aku mulai takut terbawa cinta/menghirup rindu yang sesakkan dada/jalanku hampa dan kusentuh dia/kupegang erat dan kuhalangi waktu/tak urung jua kulihatnya pergi...


Atau dalam Sandaran Hati. Yakinkah ku berdiri di hampa tanpa tepi/bolehkah aku mendengar-Mu/terkubur dalam emosi tanpa bisa bersembunyi/aku dan nafasku merindukan-Mu. Lagu ini berkisah tentang kerinduan dan kepasrahan kepada Tuhan.

Dalam membuat lirik, Noe juga mengalir saja mengikuti emosi jiwa.
Ketika mencipta lagu berbahasa Inggris, dia pun tidak bermaksud untuk menunjukkan kehebatan.
Kalau lagunya pasnya pakai bahasa Inggris, ya pakai lirik Inggris. Kalau tidak, ya Indonesia,” kilahnya.

Dinyanyikan Noe dengan suara soprannya yang sensual, lagu dan musik Letto bisalah mewarnai jagat musik band di Indonesia.
Serba mengalir, itulah Letto dari ndeso.

(Sumber: Susi Ivvaty, Kompas)


Saturday, March 25, 2006

Letto Mementahkan Sinisme

Dulu, ketika LETTO Band masuk ke kompilasi PILIH 2004, sempat muncul pesimisme band ini bakal cepat masuk dapur rekaman.
Maklum saja, tahun itu adalah eranya Peterpan yang kebetulan satu label dengan band asal Jogjakarta ini. Lagian siapa yang aware dengan single LETTO I’ll Find Away.
Meski sempat mencuri dengar, tapi lagu tersebut “tak benar-benar” menganggu.

Tapi mungkin kini, kita harus mengubah ‘sinisme’ itu. LETTO akhirnya tetap merilis album utuh yang herannya, sebenarnya lebih bagus dibanding band-band yang sekarang sedang digandrungi.
Sayangnya juga, LETTO sendiri ternyata tak “jual diri” sebelumnya.
Nggak kaget, kalau musisi-musisi Jogja sendiri “kebingungan” ketika ada band dari daerahnya yang [lagi-lagi] merilis album nasional.

Album perdananya seperti ‘sok-sokan’ lantaran menggunakan judul berbahasa Inggris Truth, Cry and Lie. Sesuatu yang sebenarnya makin biasa di dunia musik Indonesia.
Tak cuma itu, separuh lagu dari 10 lagu yang ada, berbahasa Inggris. Hasilnya?

Sebenarnya LETTO termasuk mengejutkan secara materi.
Single pertamanya Sampai Nanti, Sampai Mati ternyata bisa menggoda penikmat musik, meski masih ditengah dominasi pop manis lainnya.
Lagu ini simpel, judulnya sedikit nakal.
Tempo lagunya medium dengan karakter pop yang jelas.
Hanya tampaknya pengaruh brit-pop dominan.
Lagu ini mengingatkan penulis pada lagu-lagu milik grup Starsailor.
Sebenarnya, lagu ini tak lazim. Ada nada-nada pentatonis yang cukup unik.
Sebenanrya kalau dikulik lagi, akan lebih menarik.
Tapi tampaknya LETTO tak mau terjebak pada pop-etnisitas.

Noe [vokal/kibor], Patub [gitar], Arian [bass], dan Dedi [drum] tampaknya cukup jeli mengemas konsep musiknya.
Suara Noe sengau dengan karakter mellow yang cukup kuat.
Secara “sembarangan” penulis mendengar karakter Keane Band, Tom Chaplin. Berlebihan? Mungkin saja, tapi karakter itulah yang menjadi kekuatan lagu-lagu LETTO.
Coba simak track pembuka Truth, Cry, and Lie. Liriknya sebenarnya psychedelic.
Tapi kita akan terkecoh dengan tarikan vokal Noe yang melankolik itu.

Kelebihan lainnya, Noe punya lafal Inggris yang cukup bagus.
Meski sering mengaku “anak desa” ternyata Noe cukup lama ngendon di Kanada.
Anak Emha Ainun Nadjib ini punya kelabihan vokal yang apik.
Single yang tampaknya bakal mengharubiru adalah Sandaran Hati.
Bakal single ke-2 ini punya intro yang langsung membuka warna vokal Noe.
Masih tetap dengan tempo medium, lagu ini cocok dengan “kuping” Indonesia.

Sayangnya, semua kelebihan itu tidak langsung ditingkahi dengan sound yang apik.
Kekurangan album ini adalah sound yang terlalu “sederhana”.
Seandainya bisa lebih megah, kamu bisa tertipu mengira LETTO band britpop dari negeri seberang.
Kelemahan lain yang perlu segera dibenahi, LETTO harus berani bermain-main dengan lirik yang sedikit nakal. 10 lagu nyaris seragam.
Entah, kalau mereka memang memposisikan diri sebagai band “pengharubiru” saja.
Kalau itu pilihan mereka, sayang sekali. Band ini punya potensi lebih.

(resensi @ tembang.com)


Live Performance at 07.02.2006

Setelah promo tour di Jawa Tengah, Letto kembali ke Jakarta untuk mempromosikan album mereka. Penampilan live pertama mereka di album “Truth, Cry & Lie” adalah di Plaza Atrium Senen. Dalam acara “Meet & Greet” yang diadakan oleh Disc Tarra bekerjasama dengan Tarra Megastore dan Plaza Atrium, Letto membawakan 4 buah lagu di album baru mereka yaitu “Ruang Rindu”, “Sandaran Hati”, “Truth Cry & Lie” dan “Sampai Nanti, Sampai Mati”.

Penampilan Letto di Plaza Atrium banyak menarik perhatian pengunjung. Nggak sedikit pula diantara penonton yang ikut menyayikan lagu Letto, terutama saat Letto menyanyikan lagu “Sampai Nanti, Sampai Mati” yang merupakan single pertama Letto di album baru mereka.

Sehari setelah penampilan mereka di Plaza Atrium, Letto kembali perform di Cibubur Junction dalam acara yang sama. Di acara tersebut juga dijual kaset dan cd Letto yang ternyata lumayan banyak terjual.

Kelar acara “Meet & Greet” di Cibubur Junction, Letto langsung ke Studio Global TV untuk live perform di acara TV Komnas GR. Jadwal Letto memang padat dalam sebulan ini, disamping syuting untuk acara-acara tv, Letto juga dijadwalkan untuk promo on air di beberapa radio di Jakarta.

Sementara itu video klip Letto yang berjudul “Sandaran Hati” akan segera ditayangkan di televisi.

(Sumber: Musica Studio's)

Letto

Lagi seneng dengerin Letto, waktu pertama kali denger gue langsung sukaaa, sudah eneg dengan lagu-lagu nya peter pan, raja dan ratu, yang di puter dimana-mana yang jadi lagu wajib para pengamen, pas gue dengerin lagu-lagu nya Letto gue seperti mendapat udara segar.

Truth, Cry, and Lie adalah album pertama dari grup band asal Yogyakarta : Noe (vokal, kibor, synth, piano), Arian (bas), Agus Patub (gitar), dan Dedi (drum, perkusi)Dan album mereka ini sudah terjual 35.00 keping. Ada sepuluh lagu dalam album pertama mereka ini Side 1. Truth, Cry And Lie 2. Sampai Nanti, Sampai Nanti 3. Sandaran Hati 4. Sebenarnya Cinta 5. U & I Side 2 1. Tak Bisa Biasa 2. Insensitive 3. No One Talk About Love Tonite 4. Ruang Rindu 5. I'll Find A Way) Dan semua lagu-lagu itu gue suka.

Lagu-lagu letto sederhana, mengalir seperti air jadi gampang di nikmati tapi gak kacangan. Walau kaya dengan suara-suara alat music semua kedengaran pas, gak ada suara-suara tambahanyang bikin bising kuping. di tambah lagi suara vocalis nya yang bening. Kebeningan suara NEojelas banget di lagu ruang rindu. Lirik-lirik lagu mereka juga gak berat, bukan lirik yang mengharu biru tapi tetap terdengar romantis.

Sumber: http://jurnal-febi.blogspot.com/2006/03/letto.html

Letto, Berani Membuat Arti

Bukan sekadar "trend" dan gaya berbahasa Inggris jika separuh dari isi album ini memang hadir dalam bahasa internasional itu.
"Ini adalah proses kreativitas yang mengalir jujur," ungkap mereka.
Bahkan dalam musik mereka terselip khasanah etnik yang menghadirkan corak slendro dan pelog dalam permainan instrumen band modern.
Hasilnya adalah sebuah karakter musik yang "asli" beda, namun tetap asyik untuk dinikmati.

Simak saja lagu Sampai Nanti, Sampai Mati yang menjadi single pertama di album ini. Lagu itu bertutur tentang sikap optimis menghadapi hidup.
Lirik : kalau kau pernah taku mati/sama./ kalau kau pernah patah hati/ aku juga iya/Tetap semangat/dan teguhkna hati di setiap hari/sampai nanti/sampai mati…

Unik khan! Liriknya memang sarat dengan pesan positif, tapi bukan khotbah.
Sebab gaya penyampaiannya tetap dalam tutur puitis.
Tidak saja bicara tentang hidup, tapi juga cinta, patah hati, persahabatan bahkan tentang Tuhan.
Seperti juga lagu Sandaran Hati yang liriknya jika disimak lebih jauh tidak saja berbicara tentang seorang kekasih, tapi juga sahabat bahkan Yang Maha Kuasa.
Demikian juga dengan lagu I’ll Find Away yang percaya selalu ada jalan untuk mengapai angan.
Dan simak juga yang lain seperti U & I, Insensitive, dan No One Talk About Love. Seluruh lirik Letto terkesan gentlement dan dalam banget.

Lirik puitis tersebut, termasuk yang berbahasa Inggris seluruhnya ditangani oleh Noe salah seorang anak dari budayawan Emha Ainun Najib.
Menurut dia, itu mengalir secara spontan dan alami. "Kami ini anak desa, tidak pernah berpikir yang muluk-muluk. Semua mengalir sesuai dengan kata bathin," ucapnya.

Dia mengakui sebagian besar terinspirasi dari pengalaman pribadi.
Untuk aransemen musik dikerjakan mereka bersama-sama.
Tak heran jika masing-masing memberi pengaruh dalam setiap lagu.
Alhasil akan terasa sedikit ramuan dari rock ala Led Zeppelin, J-rock ala Kitaro, punk rock, bahkan psikadelik.
Ramuan unik itu setelah berpadu terasa begitu easy listening.
Artinya, musiknya enak di kuping, nyaman di hati, namun juga bukan asal bunyi.
Alhasil, kuping anda akan terbuai dalam nada-nada penuh rasa yang dalam.
Hal itu didukung oleh karakter vokal Noe yang melankolis namun tidak cengeng.

Konsep "beda" ini yang membuat Musica Studio's tertarik.
Awalnya Letto diperkenalkan dalam album kompilasi Pilih 2004 lewat single I’ll Find A Way.

Letto berawal dari sekumpulan pemuda yang pernah sama-sama duduk di bangku salah satu SMA di kota Yogyakarta.
Saat itu, aku mereka, tidak pernah terbayangkan kalau suatu saat nanti akan cari modal kawin dari menjual lagu.
Maklum mereka memilih bercengkrama dalam sebuah kelompok teater dengan pertimbangan bahwa belajar teater jauh lebih murah dibandingkan dugem atau narkoba.
Proses berteater ini kemudian memberi pengaruh dalam karya musik mereka kini.

Uniknya tumbuh di lingkungan gamelan tapi dengan idola Queen, Yanni atau LedZeppelin membuat masalah.
Terutama bagaimana memainkan Bohemian Rhapsody dengan slendro atau pelog. Pandangan bahwa semua adalah hasil proses kreativitas membuat akhirnya lahirlah "musik puisi".
"Banyak ekpresi yang terlihat ketika kami mementaskan hasilnya. Dari yang tersenyum menghargai sampai yang melotot dengan muka pucat. Tapi whatever lah, that's not the point. Yang penting kami sudah berkarya dan tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang nggak berguna," kata Aldi yang merupakan behind the scene dudez Letto bersama Bedjat-Miko.
Mereka juga beruntung, bahwa karya itu juga didengar oleh Noey "Java Jive", produser bertangan dingin yang telah melahirkan sejumlah grup besar termasuk Peterpan.

Sebagai karya pertama mereka tidak ingin bermuluk-muluk. "Kami tidak berani menklaim bahwa apa yang kami berikan sebagai sesuatu yang beda dan baru di banding yang lain. Ini hanya karya seorang mahluk ciptaan Tuhan yang coba memberi sesuatu ke dalam wacana musik Tanah Air," ungkap mereka.

Apakah ini sebuah janji ? Buktikan saja dengan mendengarkan Letto dalam lewat Truth, Cry and Lie.

(sumber: Musica Studio's)